Aliya tergopoh berdiri, ia meringis kesakitan, sambil memegang ranjang berusaha menegakkan kakinya, pegangannya tak kuat menahan,-Aliya terjatuh, lututnya terbentur lantai, ia bangkit kembali. Kakinya semakin berat untuk melangkah, diseretnya hingga keluar kamar, sampai pintu, kakinya bergetar, ia kembali jatuh, lututnya terkena lantai mengeluarkan darah. Ia kembali berdiri lalu bersandar ke dinding, air matanya mengalir melewati pipi, bocah sebelas tahun itu menahan sakit sejak balita, kakinya yang kiri perlahan mengecil kehilangan daya, ototnya kaku dan tegang. ketika kambuh semua badannya terasa nyeri, napasnya berat dan puncaknya kehilangan kesadaran.
Aliya menuju ke dapur di sebelah kamar orangtuanya, ia berjalan sambil berpegangan pada dinding, Fuku mengikutinya dari belakang, setiap Aliya berhenti sejenak Fuku maju ke depan dan menatapnya, kucing jantan itu seolah memberikan semangat kepada tuannya.
“ Tapi semenjak Fuku ada disini Aliya menemukan teman yang bisa membuatnya bahagia, Mas”
“ Mama tahu kan, kemarin istri pak RT terkena infeksi karena cakaran kucing, dan seminggu kemudian dia meninggal? Mama mau itu terjadi pada anak kita?”.
“ Tapi Mas…”
“ Sudah, pokoknya kita harus buang Fuku dari rumah ini “.
Aliya tak sengaja mendengar percakapan di dalam kamar orang tuanya, ia mendengar jelas isi percakapannya. Aliya tak mampu membendung kesedihan, ia jatuh ke lantai, Fuku menghampirinya, segera ia mendekap Fuku, meletakkan kepalanya di pipi yang basah oleh air mata, Fuku tak bergerak. Aliya mendekapnya erat di dada. Fuku melihat ke arah tuannya, telinganya bergerak tak beraturan, pertanda ia sedang dalam kesedihan, Aliya mengusap air mata Fuku, kucing itu bisa menangis, meskipun tak sederas tangisan Aliya.
“ Aku tak akan membiarkanmu pisah dariku, Fuku “.
kata Aliya, ia mengusap tubuh Fuku, lalu mendekap kembali ke dadanya dengan erat.
Ibu Aliya keluar dari kamar, ia menjerit mendapati anaknya sedang terkapar, Ibu memeluk Aliya, mencium keningnya. Dari balik pintu ayah Aliya muncul, ia segera menghmpiri Aliya menyentuh rambutnya. Ayahnya terkejut melihat kaki Aliya berlumuran darah. Lalu ia berdiri dan berlari menuju dapur, tak berapa lama ia membawa sebuah sapu.
“ Dasar kucing pembawa sial “ kata ayah Aliya sambil mengacungkan gagang sapu ke arah Fuku. Wajah ayahnya memerah amarah.
Fuku melompat dari dekapan Aliya, berpindah ke sampingnya, tubuhnya beringsut.
“Yah.. ini bukan ulah Fuku “ kata Aliya.
“Sudah, kamu gak perlu belain kucing ini, dia harus pergi!”.
Bugggg.. Bugg..Buggg
Suara gagang sapu mengenai tubuh Fuku. Aliya menangis kencang, ia ingin mencegah ayahnya, tapi tubuhnya tak kuasa, sementara ibu Aliya hanya menyaksikan dan mencoba menenangkan anaknya. Fuku tak melawan, ia menerima pukulan demi pukulan yang mengenai badannya, ia hanya mengerang pelan, sambil memejamkan matanya seolah pasrah. Tiga pukulan melayang, darah mulai mengucur dari kepala Fuku, Aliya semakin meronta tapi Ibunya menahan tubuhnya dengan kuat.
“ Fuku… pergilah………. “ teriak Aliya.
Fuku mengerang, matanya memandang Aliya cukup lama.
Buggg….
Pukulan ke empat mengenai tubuhnya, Fuku terlempar ke lantai, ia berusaha berdiri lalu berlari ke luar dengan sempoyongan, darahnya mengucur ke lantai.
Aliya tubuhnya bergetar, matanya terpejam, tiba tiba ia kembali pingsan. Ayahnya bergegas mengambil obat dan minyak kayu putih, mengusapkan ke hidung dan keningnya tapi tak bereaksi, matanya tetap terpejam, ibu khawatir, segeralah Aliya dilarikan ke rumah sakit.
Lima belas menit berlalu, Aliya mendapatkan pertolongan pertama, ia masuk ke dalam ruang gawat darurat, matanya belum terbuka, detak jantungnya lemah. Dokter dengan sigap memeriksa dan memakaikan alat bantu pernapasan, ruangan ditutup rapat, ayah dan ibu Aliya menunggu di luar sambil sesenggukan. Tak ada kata-kata selain suara tangisan yang menggema. Meskipun mengalami sakit yang aneh sejak kecil Aliya tak pernah pingsan selama ini apalagi sampai dilarikan ke gawat darurat.
Satu jam kemudian, pintu ruangan terbuka, seorang dokter berkacamata keluar sambil tersenyum simpul. Ayah dan ibu Aliya tergopoh berdiri, harap cemas menanti kabar dari lelaki berseragam putih di depan mereka.
“ Mari ikut ke ruangan saya Pak “ kata dokter sambil melenggang berjalan.
Ayah dan ibu Aliya mengikuti dari belakang
“Kondisi putri bapak Ibu baik baik saja “
“Alhamdulillah , lalu mengapa ia pingsan sangat lama Dok?“
“Nah ini yang mengagumkan, penyakit aneh yang diderita oleh putri bapak ternyata mengalami penyembuhan, massa dan ketegangan otot kakinya perlahan normal”.
“Kok bisa Dok?”.
“Kami perlu meneliti lagi ke laboratorium untuk memastikan, tapi berdasarkan sepengetahuan kami, hal ini dapat dipicu oleh kebahagiaan yang dirasakan oleh putri Bapak atau bisa juga berasal dari hewan peliharaan yang disenangi oleh putri Bapak istilah medisnya therapeutic”.
“ Putri kami memelihara kucing Dok”.
“ Nah itu Bu, kita sudah temukan jawabannya”
“ Kami baru saja mengusirnya Dok, karena suka mencakar putri kami “
“ Maksud Ibu, luka yang di tangan dan kaki putri Ibu? Itu luka akibat benturan dan goresan benda tajam Bu, bukan cakaran seekor kucing”.
Ayah dan ibu Aliya saling bertatapan. mereka menunduk menyesal karena sudah menuduh Fuku menyakiti Aliya Padahal justru Fuku lah obat penyakit aneh yang diderita putrinya selama bertahun-tahun.

“ Fuku… Fuku…” suara Aliya dengan mata masih terpejam.