Berbicara tentang perjuangan, sama halnya ketika berbicara tentang hujan, selagi langit masih di tempatnya maka siklus akan tetap terjadi, begitupun dengan perjuangan hidup, selagi nyawa masih bersemayam di tubuh maka siklus perjuangan tak akan berhenti.
Berjuang dalam hidup, sama halnya memperjuangkan harapan, cita cita dan keinginan yang sudah didesain sedemikian rupa hingga menemui muaranya, sehingga ikhitar dan berdoa mutlak dilakukan agar harapan dan takdir akan sejalan, banyak sekali yang menuliskan mimpi menjadi dokter lalu Allah menghapus dan menggantinya kamu jadi anak biologi, seperti aku misalnya.
Bercerita tentang aku, adalah bercerita tentang seseorang yang dilahirkan dari kedua orang tua yang mengadu nasibnya di ladang menjadi petani dengan keterbatasan yang menjadi jadi, memiliki materi yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari, tidak ada yang mewah, selagi itu dapat menunjang hidup maka bagi kami sudah tentu cukup. Kamus bijak mengatakan bahwa kita tidak bisa menentukan dari rahim siapa kita dilahirkan tapi kita bisa menentukan nasib kita di masa depan. Rangkaian kalimat yang memberikan jabaran secara implisit bahwa hidup ini tidak boleh menyerah kepada keadaan lebih dari itu harus diperjuangkan demi sebuah mimpi yang sudah digantung di cakrawala.
Salah satu cara yang dapat ku lakukan adalah aku harus mengubah diri  sendiri yaitu dengan cara menimba ilmu setinggi tingginya, karena sangat benar apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi bahwa pendidikan adalah alat untuk mengubah dunia. Maka saat itu kuliah menjadi salah satu impian besar dalam perjalanan hidupku, seorang anak petani, apabila dilogika tak akan pernah pantas memiliki impian untuk kuliah. Namun aku akan mencobanya.
Aku berasal dari desa yang jauh dari keramaian dan sentuhan modernitas yang serba materialis dan hedonis, hidup di desa memberikan pengalaman kesederhanaan tanpa berpikir untuk bermewah mewahan, hidup di desa juga memberikan pelajaran tentang guyub rukun antar sesama, tidak memandang manusia dari jabatan dan pangkat semata, tapi karena satu rasa sebagai manusia Tuhan yang harus saling asih mengasihi. Selain itu di desa iklim kuliah sangat minim, apalagi kuliah, sekolah lanjut atas saja masih bisa dihitung dengan jari dan mereka masih berpikir bahwa sekolah hanya menghabiskan biaya dan tidak menjamin bisa langsung kerja. Thoh tujuan sekolah adalah untuk cari uang bukan? Pikir mereka.
Syukurnya, aku lahir dari orang tua yang tidak berpikir demikian, tetapi menjunjung tinggi pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan harkat martabat, karena sebagaimana yang ada di dalam Al Quran bahwa Allah akan mengangkat derajat orang orang yang berilmu.
Lahir di desa yang menganggap bahwa kuliah hanya untuk orang orang yang memiliki harta lebih, tapi aku menepis itu, kuliah bisa dirasakan oleh semua orang, oleh mereka yang mau berjuang dan berlelah leah dalam kehidupan. Maka perjuangan telah dimulai.
Perjalanan untuk menggapai dunia kuliah tidaklah mudah banyak liku liku yang membentang dan hambatan yang menerjang, setelah lulus dari SLTA, rasa bimbang mulai ada, apabila langsung kerja maka terlalu muda diri masa belajar tak dapat dinikmati, apabila kuliah, uang siapa yang hendak aku gunakan, padahal saat melihat daftar harga kuliah yang melangit, tak dapat dijangkau olehku manusia bumi. Sehingga saat itu aku memutuskan dua dilematika. Aku harus kuliah dengan sayarat beasiswa dan apabila tidak dapat beasiswa maka aku harus kerja dulu agar tidak merepotkan orang tua untuk kesekian kalinya.
Perjuangan yang cukup besar adalah saat meyakinkan kedua orang tua dengan segala mimpi dan konsekuensinya, saat itu nampak di raut wajah mereka, sangat berat menjawab segala niat yang aku sampaikan, mulai dari biaya kuliah, biaya kos, biaya transportasi karena tidak punya kendaraan sendiri, tidak ada yang membantu bapak di rumah dan segala kekhawatiran yang lain sebagai naluriah orang tua akan masa depan anaknya sekaligus kondisi ekonomi yang belum dapat dikatakan cukup apalagi kalo harus kuliah. Sehingga beasiswa menjadi jalan untuk menerobos kebuntuan kondisi saat itu, akhirnya mereka mengangguk setuju meskipun terlihat berat.
Mengejar beasiswa menjadi harga mati utnuk merawat sebuah mimpi, berbagai informasi aku cari agar dapat mendaftarkan diri barangkali ini adalah jalan rejeki yang didesain oleh Tuhan untuk menjawab mimpi mimpi. Berbagai rintangan membentang mulai dari pengurusan berkas secara mandiri ke sekolahan dan ke kampus, hingga tak memiliki biaya untuk mengurus berkas berkas yang dibutuhkan. tak ada kendaraan sehingga harus menebeng kawan atau naik transportasi umum.
Sambil menyelam minum air, menunggu pengumuman satu kampus, sembari itu mencari beasiswa di kampus lain, jadi hematku, apabila tidak diterima di kampus satu masih ada satunya lagi, sehingga tetap dapat kuliah.Setalah mengalami berbagai ujian dan penantian, tibalah saatnya pengumuman masuk perguruan tinggi bersamaan dengan beasiswa yang didambakan. Alhamdulillah aku masuk daftar penerima beasiswa dan resmi menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup favorit di daerah Semarang. Sehingga mulai saat itu aku menyadari bahwa rangkaian mimpi yang aku tuliskan sedikit demi sedikit telah menemukan muaranya, gerbang mimpi telah terbuka, kini kakiku ku langkahkan karena ternyata perjalanan mimpi belum berhenti disini. Ada rona bahagia dari orang tua ketika mendengar kabar itu, akhirnya anaknya dapat merasakan kuliah dengan beasiswa dari pemerintah.
Mencari beasiswa sebagai pertanda bahwa dunia kuliah tidak semudah yang dibayangkan dan disajikan di layar layar televisi, tetapi dunia yang penuh pengorbanan apalagi seorang mahasiswa beasiswa seperti aku, tentunya harus tetap bertahan dalam keadaan sesempit apapun, demi sebuah harapan yang terlanjur digantungkan. Perjalanan kuliah tak semulus aspal jalan bebas hambatan, tetapi banyak menemui kerikil kerikil bahkan batu karang yang amat besar, memilih dilewati, berdiam diri atau bahkan menyerah pada keadaan.
Karang besar itu kini hadir saat aku sudah duduk di semester delapan, seyogyanya saat itu bagi mahasiswa sedang sibuk sibuknya mengurus skripsi atau tugas akjhir sebagai sayarat kelulusan, demikian halnya denganku, melakukan penelitian lalu menulisaknnya dalam laporan. Penelitian yang dilakukan kurang lebih setahun dengan ikut proyek dosen sebagai solusi untuk mengurangi pengeluaran keuangan yang sangat besar, menentukan dosen pembimbing yang diobatabitkan seperti halnya kincir yang berdiri di padang rerumputan belum lagi perihal pengujian data yang harus ke intansi yang berkompeten, menunggu hasil beberapa bulan lalu membayar biaya hasil yang dikeluarkan. Sehingga mulai saat itu aku harus memikirkan untuk mencari pendapatan, alhasil dengan keterampilan seadanya dibidang desain, aku memberanikan diri membuka jasa desain komersil agar tidak terjadi besar pasak daripada tiang. Alhamdulillah sedikit demi sedikit dapat menghasilkan uang sekadar untuk biaya makan dan biaya penelitian, tapi bisnis ini tak selamanya manis, banyak hal yang harus dikorbankan mulai dari waktu tidur yang hanya beberapa jam, kurang waktu bersantai ria dan bahkan sampai ada yang tidak membayar. Namanya juga bisnis pasti banyak resiko yang harus ditelan.
Karang yang aku ceritakan kini benar benar nyata di depan mata, di ujung masa kuliahku, Allah memberikan cobaan yang cukup besar. Bapak tiba tiba jatuh sakit, gejala stroke, yang membuatnya tidak dapat menggerakan badannya, tangan dan kaki seperti lumpuh seketika, maka anak mana yang tega melihat kondisi bapaknya demikian. Hingga aku memutuskan untuk meninggalkan Semarang, kegiatan perkuliahan lambat laun mengalami keterpurukan belum lagi laporan skripsi semuanya sementara diistirahatkan sampai masa yang entah kapan akan berujung. Bapak yang sakit otomatis tidak ada masukan keuangan untuk keluarga, aku memutuskan untuk di rumah sambil bekerja untuk tambahan biaya makan dan kebutuhan sehari sehari. Kini telah berjalan sebulan lebih bapak berbaring di atas ranjang, dan selama itu aku tak sempat bersapa dengan kampus dan teman teman di Semarang. Ini merupakan karang besar yang senagaja Allah hadirkan, untuk memberikan pelajaran bahwa hidup tetap harus diperjuangkan tak mengenal lelah dan menyerah, karena sejatinya manusia tak akan diuji di luar batas kemampuannya, maka bersabar dan bersyukur adalah cara terpijak untuk menyikapi keadaan.
Maka bila saat ini kalian belum menemui karang itu, semangatlah untuk menyelesaikan urusanmu, karena seringkali Allah menghadirkan kesempitan tanpa menunggu sebuah persetujuan. Demikianlah denganku yang hareus tetap menari meskipun lantai yang awalnya ku pijaki adalwah ubin kini telah berganti dengan bara. Apapun itu,  mimpi harus diperjuangkan, tak bisa ditawar!

Sebuah tulisan kisah penerima manfaat beastudi etos yang dibawah naungan Yayasan Dompet Dhuafa. Penulis merupakan alumni Beastudi Etos Semarang angkatan 2014. Untuk mengetahui lebih lengkap informasi terkait Beastudi Etos dan Yayasan Dompet Dhuafa, dapat mengunjungi laman resminya DI SINI
Semoga bermanfaat