BUDAYA PENGGUNAAN PUPUK ANORGANIK, BENARKAH
MALAPETAKA?
Oleh: Azhar Atturry
Dilansir
dari data Badan Pusat Statistik bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020
diproyeksikan akan mencapai 271,1 juta jiwa peningkatan tersebut mengakibatkan
kebutuhan pangan semakin meningkat. Di dalam kurun waktu lima tahun ke depan
(2015-2019), jumlah konsumsi beras nasional akan meningkat rata-rata 0,35
persen per tahun. Selanjutnya, jumlah permintaan pangan selain beras yaitu
buah-buahan dan sayuran segar, sumber protein hewani (daging, telur, dan ikan),
dan pangan olahan juga akan terus meningkat
(Rusono dkk, 2014)
Teori Robert Malthus menyatakan bahwa “pertambahan penduduk
sesuai rumus deret geometri yang selalu meningkat, sedangkan pertambahan pangan
sesuai dengan deret aritmatika. Oleh karena itu apabila penurunan produktivitas
pangan ini tidak segera diselesaikan maka akan menyebabkan krisis pangan.
Sektor pertanian
merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah karena sektor
ini berperan penting dalam mengatasi krisis pangan terutama beras. Sektor
pertanian berperan sebagai sumber penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan
papan, Salah satu tantangan besar yang akan
dihadapi dalam mengatasi krisis pangan adalah pilihan penggunaan pupuk organik
dan anorganik.
Penggunaan pupuk organik dan anorganik menimbulkan dikotomi
yang kunjung selesai, bahkan sekarang sedang hangat hangatnya gerakan protes
terhadap penggunaan pupuk anorganik, mereka yang tidak setuju dengan pupuk
anorganik mengklaim bahwa pupuk anorganik dapat merusak tanah dan organisme
yang ada di dalamnya sehingga menyebabkan tanah menjadi tidak subur. Bahan
pupuk anorganik yang berupa bahan kimia dapat terakumulasi dalam tubuh dan menimbulkan
beberapa penyakit. Menurut mereka pupuk organik adalah pupuk yang ramah
lingkungan dan menyehatkan tubuh.
Tentunya pemahaman ini kurang tepat, karena pada dasarnya
ada dua hal yang harus diperhatikan, Pertama, negara negara maju seperti
Jepang, Amerika Serikat, Korea dan negara negara Eropa dapat berswasembada
pangan karena kontribusi pupuk anorganik yang mereka gunakan dalam jumlah besar.
Kedua, sebagian besar masyarakat mengganggap bahwa pupuk organik tidak termasuk
bahan kimia sedangkan pupuk anorganik berbahan kimia, padahal baik pupuk
organik maupun anorganik semuanya adalah bahan kimia. Keduanya sama sama
dibutuhkan oleh tanaman.
Meskipun
dianggap lebih menguntungkan, pupuk organik juga memiliki kelemahan antara lain:
(1) Pupuk organik yang telah mengalami proses dekomposisi, khususnya yang
diaplikasikan dalam jumlah besar dapat menyebabkan polusi air tanah. (2) Tidak
dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman dalam bentuk hara organik. (3)
Kandungan unsur hara yang penting bagi tanaman sangatlah kecil. (4) Pupuk
organik tidak meningkatkan jumlah bahan organik secara signifikan (antara 1 – 2
% atau lebih) dalam 1 atau 2 tahun pengaplikasiannya. (5) Pupuk organik
bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kualitas produk, seperti
peningkatan kandungan antioksidan (Mamaril, 2004).
Pupuk
kandang (organik) mengandung unsur hara N, P, dan K yang menurut hasil
penelitian jumlahnya tidak lebih dari 4%. Jadi, pupuk kandang mampu
meningkatkan produktivitas tapi belum maksimal, karena unsur hara yang
dikandungnya sangat kecil sehingga tanaman masih kekurangan unsur hara, karena
itulah, untuk lebih meningkatkan produktivitas hasil pertanian, diperlukan
tambahan sumber hara N, P, dan K yang berasal dari pupuk sintesis (anorganik)
(Rauf Purnama, 2011).
Asosiasi Produsen
Pupuk Indonesia (2016) menyatakan bahwa masyarakat mulai mengenal pupuk anorganik sudah cukup lama,
tepatnya pada PELITA I tahun 1969) sebelumnya masyarakat hanya mengenal pupuk
kandang atau kompos yang komposisi bahan organiknya lebih banyak dibandingkan
bahan anorganiknya. pupuk organik lebih menggiurkan dibandingkan pupuk organik,
hal ini karena pupuk anorganik menghasilkan tanaman yang produktif dalam waktu
yang relatif cepat serta hasil yang melimpah.
Kenyataan
menunjukkan bahwa setelah pemerintah bekerjasama dengan CIBA perusahaan pupuk
kimia untuk mengembangkan ketiga jenis pupuk (pupuk N, P dan K ) hasil
pertanian padi meningkat dari rata-rata 2,2 ton per hektare GKG (gabah kering
giling) pada Pelita I menjadi 4,6 ton per hektare GKG pada Pelita VI, sehingga
pada 1984 Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO karena bisa berswasembada
beras. Hal ini menjadi bukti bahwa pupuk anorganik dapat mewujudkan swasembada
beras. (M.C Riclef, 2005).
Apabila kita
cermati dikotomi yang terus bergulir ini, ada beberapa permasalahan. Pertama
yaitu kurangnya pemahaman masyarakat mengenai bahan bahan organik dan anorganik
apa saja yang dibutuhkan tanaman. Kedua masyarakat pada umumnya belum begitu
paham dengan takaran pupuk yang baik untuk digunakan, masyarakat cenderung
beranggapan bahwa semakin banyak pupuik semakin sehat pula tanaman, anggapan
ini jelas salah, karena nutrisi yang diberikan ke tanaman harus sesuai dengan
kebutuhannya, apabila nutrisi dalam pupuk berlebihan maka terbawa oleh aliran
air dan masuk ke dalam sungai, karena konsentrasi nutrisi di sungai tinggi maka
akan memicu tanaman air seperti Eceng gondok (Eichhornia crassipes) akan tumbuh pesat sehingga hal ini akan
menyebabkan peristiwa Eutrofikasi, peristiwa ini menyebabkan organisme yang
berada dalam air akan mati karena kekurangan oksigen.
Dalam mengatasi dikotomi
yang tak kunjung selesai tersebut solusi yang dapat dilakukan adalah mengadakan
penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat teruitama petani tentang nutrisi
nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman, penggunaan pupuk yang baik dan aman
sehingga tanaman dapat produktif tanpa merusak lingkungan. Kedua yaitu adanya
pelatihan dan pendampingan, supaya masyarakat tidak hanya paham teori tetapi juga
praktek di lapangan secara langsung, ketiga adalah pembangunan paradigma
masyarakat bahwa tanaman membutuhkan pupuk organik dan pupuk anorganik keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan, tanaman membutuhkan keduanya, oleh sebab itu
yang perlu diperhatikan adalah cara penggunaannya harus sesuai dengan aturan
baku mutu yang telah ditetapkan. Solusi tersebut merupakan tindakan preventif yang
dapat kita lakukan, dalam hal ini bukan hanya pemerintah dan masyarakat yang
bertanggung jawab, tapi kita sebagai mahasiswa juga memiliki tanggung jawab,
kita dapat melakukan solusi tersebut sesuai dengan bidang keilmuan yang kita
miliki dengan kerjasama yang apik antar elemen maka optimis lima tahun ke depan
kita tidak lagi impor beras, kita menjadi negara agraris yang tidak mati di
lumbung padi nya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rusono,
Nono, Anwar Sunari, Ali Muharam, Noor
Avianto, Ifan Martino,Susilawati, Tejaningsih, Prajogo Utomo Hadi. 2014. Penyusunan RPJM 2015-2019 Bidang Pangan dan
Pertanian. Jakarta : Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas
Mamaril, C.P. 2004. Organic Fertilizer In Rice : Myths and Facts.
All About Rice Vol. 1 No. 1. The Asia Rice Foundation. Los Banos
M.C Reclef.2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Hlm.558
Rauf Purnama. 2011. Organik vs Anorganik dalam Sektor Pertanian.
Jakarta: Gatra
www.appi.or.id/?statistic diakses tanggal 23 September 2016 Pukul 14.15
WIB
www.bps.go.id
diakses pada tanggal 26 September 2016 Pukul 19.30 WIB
silahkan tinggalkan komentar :)
Social Icons