LUKA YANG TAK PANTAS
Oleh: Azhar Atturry


Juli, 2018
            Semburat cahaya subuh merayap dan menembus celah-celah jendela hingga menyelinap ke dalam barisan kamar di pesantren. Seperti biasa, aku sudah rapi dengan baju koko, sarung bergaris dan peci bermotif. Aku mulai menyusuri pesantren, setiap pintu aku ketuk dengan suara lantang,- membangunkan para santri untuk sholat Subuh berjamaah, ada yang terdengar masih melantunkan Ayat ayat Al-Qur’an, ada yang langsung mengambil air wudhu dan ada pula yang masih pulas tertidur, sebut saja mereka ahli naum (red: ahli tidur).

            Rutinitas inilah yang menjadi alasan, aku betah tinggal di sini, hampir sepuluh tahun aku hidup di pesantren, karena itu Kiai Hamdi memercayaiku menjadi salah satu pengurus di sini.
“Kang Zafi” terdengar suara santri dari balik pintu kamarku, dengan diringi bunyi ketukan pintu.
“ Iya Kang, ada apa?” aku membukanya, ternyata sosok Kang Mahmud, yang juga salah satu pengurus pesantren.
“ Abah, mencari sampean Kang, kata beliau sampean siap siap dulu terus menghadap beliau, kayaknya mau di ajak pergi Kang” jawabnya dengan napas yang mencuap
“iya makasih Kang, saya akan segera ke sana” jawabku.
            Hal seperti ini bukan pertama kali bagiku, diajak Kiai Hamdi  ke berbagai tempat, mulai dari membeli kitab, menghadiri undangan, mengisi pengajian umum, sampai berbelanja ke pasar, kapanpun waktu yang diminta Kiai, aku selalu siap dan bersedia.
            Aku sudah siap, dengan pakaian yang biasa aku kenakan, jaket kulit, dan celana kain hitam, tak ketinggalan pula peci putih. Aku melenggang menuju ndalem (red: rumah Kiai).
“ Kang Zafi, sudah siap?” sahut Kiai Hamdi yang ternyata sudah bersiap di samping mobil sedan hitam, terlihat pula Bu Nyai Hamdi serta pak Machrus sopir pribadi beliau.
“ Sudah Bah ” Jawabku, sambil menundukkan kepala, kemudian aku masuk ke dalam mobil usai dipersilahkan. Aku duduk di jok paling belakang.

Perempuan Misterius
            Aku belum tahu, kemana arah mobil sedan ini, aku pun tak berani menanyakan kepada Kiai Hamdi kemana tujuan kali ini, yang penting manut dan nurut saja, aku hanya diam, mendengarkan obrolan Bu Nyai Hamdi dengan Kiai hamdi, sesekali terdengar suara pak Machrus dari balik kemudi.
            Setelah tiga jam lamanya menyusuri jalan, mobil sedan berhenti, aku melihat di balik kaca mobil, pandangan tak jelas karena di luar hujan sangat deras.
“ Bu, mari turun, biar Pak Machrus dan Kang Zafi menunggu disini,” kata Kiai Hamdi dengan menoleh ke belakang.
“ Iya Bah,” jawab Bu Nyai sambil menyodorkan sebuah payung ke arah Kiai Hamdi.
mereka berdua turun di tengah derasnya hujan pagi ini, sementara aku dan pak Machrus menunggu di dalam mobil. Tak ada obrolan karena memang suara hujan mengalahkan frekuensi suara kami.
            Tiga puluh menit berlalu, terdengar suara Kiai Hamdi membuka pintu mobil begitupun dengan Bu Nyai. Aku terkejut karena bebarengan dengan Bu Nyai terlihat seorang perempuan yang kemudian duduk di samping Bu Nyai, tepat di depanku, aku tak jelas melihat wajahnya, perempuan itu hanya memandang ke arah depan.
“ Kang Zafi, tolong ambilkan tas di samping sampean” kata Bu Nyai menyeka penasaranku.
“ Ini Umi ” aku memberikan tas di tengah tengah antara Bu Nyai dengan perempuan berjilbab biru itu, Ia sedikit menoleh ke belakang, terlihat hanya jilbab bagian kanannya. Aku merasa sudah mengenal perempuan ini namun siapakah dia. Entah.
            Spekulasiku menemani perjalanan sedan hitam Pak Kiai ke pesantren, tiga jam lamanya akhirnya rombongan sampai di pesantren. Aku tetap dalam posisiku, karena tak bisa keluar kecuali melewati jok depanku, sementara di depanku Bu Nyai dan perempuan jilbab biru itu masih merapikan barang-barangnya. Kiai Hamdi sudah keluar. Tak berapa lama aku pun keluar dari mobil.
            semua barang dalam mobil aku turunkan, tak sengaja aku menoleh ke arah perempuan itu, yang posisinya membelakangiku, dan tiba tiba ia membalikkan wajahnya ke arahku. “ Subhanallah ” batinku. Aku terkejut, ternyata perempuan itu adalah Neng Asna, ya.. Asna Zakiya El Hamdi, putri Kiai Hamdi yang melanjutkan studi sarjananya di Yaman, secepat kilat aku menundukkan kepala, sebelum Kiai Hamdi melihat kelancanganku,.

Pagi yang berbeda
            Ada yang berbeda dengan pagi ini, entah alasan kenapa aku menyebut pagi ini berbeda. Suasana hatiku berbeda, suara jago di pekarangan berbeda, suara air di kamar mandi berbeda, suara dentingan jam dinding pun berbeda, ah semua terasa berbeda, tapi aku belum paham apa alasannya. Aku menata kitab di kamar.
“ Kang, ngerti orak sampean, Mbak Asna pulang Kang, wah saiki masyaAllah, Kang cantiknya luar biasa, tambah pinter, dan senyume iku Kang, berrrr rasane,” ceplos Kang Mahmud, dengan mengangkat kedua tangannya seolah ingin meraih sesuatu.
husst, sampean iki lho, kita gak boleh terlalu berharap,” jawabku.
“ iyo sih Kang, mbak Asna enggak putrine wong sembarangan, kita nggak pantas berharap banyak kang, sebelum ingin meraih bintang, kita juga harus sadar seberapa tinggi bumi yang kita pijak” balasnya
            Jujur ku akui, aku mash menaruh harapan ke neng Asna. Aku kira semua santri disini pun demikian, bagaimana tidak, selain putri satu satunya Kiai Hamdi, dia juga memiliki paras yang cantik, serta cerdas pemikirannya, apalagi ia kini lulusan Yaman, sudah tentu keilmuannya tak perlu diragukan. Neng Asna mengingatkanku pada kejadian empat lima tahun yang lalu.

Februari, 2014
Aku menyisir rambutku, merapikan baju koko yang aku kenakan, aku mengambil kitabku di rak yang tertata di samping lemari. Seperti biasa, aku bergegas menuju aula pengajian, terlihat sudah banyak santri yang memadati ruangan, kata mereka ini termasuk pelajaran yang mereka favoritkan, selain pelajaran Tafsir yangg dibawakan langsung oleh Kiai Hamdi. Aula cukup luas, terbagi dua barisan, santriwan dan santriwati yang dipisahkan oleh sekat. Aku masih bisa melihat santriwati meskipun sangat terbatas, hanya bagian depan pojok, sekedar mengetahui kondisi mereka saat pengajian berlangsung. Dari sekian santriwati, ada yang tak luput ku perhatikan, selain ia yang selalu duduk paling depan. Dia adalah putri tunggal Kiai Hamdi. Neng Asna. Selisih umurku dengannya sekitar lima tahun, ia masih duduk di kelas tiga SMA, atas anjuran Kiai Hamdi ia disuruh untuk ikut pengajian di pesantren
Hujan turun dengan lebat, sampai kaca aula terlihat mengembun dan samar samar. Petir menggelegar bersahutan. Pengajian, ku akhiri lebih cepat, sebab para santri sudah tak bisa mendengar penejelasanku.
Setengah jam berlalu, hujan mulai reda, ku persilahkan para santri untuk kembali ke pondoknya. Santri putra dengan gesit berlarian, menembus rerintikan hujan. Santri putri sibuk membenahi jilbabnya, mereka membuka payung yang mereka bawa. Satu bersatu berjalan beriringan, sampai depanku mereka menundukkan kepala. Aku balas mengangguk, aku mengamati dan memastikan semua santri sudah kembali. Hujan kembali deras, aku beringsut ke belakang agar tak terkena tempias air. Ku kembali ke aula. Masih ada dua santri putri yang di samping pintu aula. Ku mendekat, dia ternyata Neng Asna bersama santriwati ndhalem.
“ Neng Asna, ndak membawa payung ?” tanyaku kepadanya
“ Kami tidak membawa payung Kang “ jawab santriwati dhalem
“ Ini payung saya dipakai saja, kebetulan kamar saya dekat dengan aula“ jawabku, seraya menunjukkan kamar ku persis di depan pintu aula.
Aku memberikan payungku, Neng Asna menerimanya.
“ Terimakasih Kang, maaf merepotkan “ Kata Neng Asna. Aku mengangguk tersenyum
Mataku masih mengikuti langkah Neng Asna yang berjalan meninggalkan Aula, tepat di gang menuju dhalem ia menoleh seraya tersenyum ke arahku, aku membalasnya lalu dengan segera menundukkan wajahku. Hujan langsung menghembuskan udara kesejukan, awan mendung terlihat cemerlang, hujan memang membawa berkah “ batinku. Aku tersenyum., Suara adzan menengahi semuanya.
Mulai kejadian selepas ngaji sore tadi, aku kepikiran Neng Asna, membuatku mulai senyum sendiri di pojok kamar.

“ Kang Zafi, ini ada titipan dari dhalem, “ kata kang Mahmud seraya memberikan sebuah payung
“ Iya kang terimakasih “ jawabku, kang Mahmud segera menghilang
Aku memegang payungku  yang kupinjamkan ke Neng Asna, kini ia begitu istimewa, karena telah dipakai putri tunggal Kiai Hamdi, rasa rasanya ada sosok Neng Asna di setiap inchi payung ini, aku meletakkannya di atas lemari. Ada gulungan kertas yang jatuh mengenai peciku. Ku buka gulungan itu, ada tulisan di sana.
“ Assalamu’alaikum Kang Zafi,
Terimakasih sudah dipinjami payungnya dan membuat sampean harus kehujanan, selain cerdas dalam memaknai kitab, sampean juga cerdas dalam memaknai isyarat, tak heran bila santriwati Abah banyak yang diam diam memperhatikan sampean hehe
Mohon maaf sudah merepotkan
“Wassalamu’alaikum”
Asna
Aku terkejut denga isi suratnya, banyak makna yang mulai bermunculan dalam kepalaku, kesimpulan demi kesimpulan aku buat, memang benar, surat dari seorang wanita menciptakan ribuan tafsir yang sulit dimengerti.
Aku bergegas mengambil buku dan bulpoin, ku menulis surat balasan untuk Neng Asna
“ Wa’alaikumussalam Neng “
Payungnya sudah saya terima, terimakasih karena telah sudi dipinjami payung oleh ku. Selain putri Kiai, Neng sangat tawadhu dan cerdas juga dalam pelajaran yang saya sampaikan. Mohon maaf Neng kalau suidah lancang
Wa’alaikumussalam
Pemilik payung

Ku titipkan surat itu kepada santri dhalem saat pengajianku sabtu sore, di sela pembelajaran, ku lihat Neng Asna membaca suratnya lalu tergurat senyum di wajahnya. Aku tersipu. Surat balasanku bukanlah surat terakhir namun awal dari semuanya, Semenjak saat itu kami sering surat menyurat, usai aku mengajar ku titipkan santri dhalem dan begitupun Neng Asna. puluhan surat kami saling tuliskan, mulai dari membahas pengajian hingga hal hal yang lebih ke pribadi, aku menemukan kenyamanan yang sempurna saat itu. Neng Asna menjadi sosok khusus menemani hari hariku, membuatku lebih bergairah dan bersemangat.
Sepandai pandai tikus melompat, ia akan jatuh terjerambab. Sebulan telah berjalan, aku masih diam diam berbalas surat dengan Neng Asna. Sialnya Pagi ini suratku ketahuan oleh pengurus pesantren, bahkan beberapa surat di tempel di majalah dinding pesantren, aku tahu itu dari kang Mahmud, ia menginfokannya kepadaku di kamar. Tentu ini bukanlah masalah sepele.
Belum sampai ia keluar kamar, beberapa rombongan pengurus masuk ke dalam kamarku, dua orang langsung menarik lenganku dan tangannya diletakkan di bahuku memaksaku berdiri. Aku berdiri. Lalu seorang pengurus berbadan kekar menunjukkan lembaran kertas ke depan mukaku.

“ Iki maksute opo Kang, malu maluin ngerti gak?” katanya dengan nada sangat keras. Kamar menjadi sangat hening, beberapa santri turut mengintip dari depan kamarku.
“ Kang, marilah bicara baik baik, dijaga akhlaknya, jangan pakai emosi“ kang Mahmud membelaku.
“ Ini lho orang ini yang harus dijaga akhlaknya, sama anaknya Kiai kok berani beraninya merayu “ balas pengurus kekar, sambil menunjuk mukaku
“ Takzir Kang takzir, kelamaan, biar dia jera “ ucap pengurus lainnya
“ Tapi harus menunggu keputusan Kiai Hamdi Kang “ Tukas kang Mahmud
“ Gak perlu, karena pelanggarannya jelas dan sesuai aturan pondok harus ditakzir “ kata pengurus yang memegang tanganku.
Aku diarak keluar, seorang santri mengalungkan sebuah kardus bertali bertuliskan “ Aku gak bakal naksir Ning lagi “ tanganku dipegang dua orang pengurus. Aku diarak mengelilingi pesantren putra, semua santri keluar dan memperhatikanku beberapa ada yang menceletuk “Ustadz cabul”, “punuk merindukan bulan” “gak tahu diri”, “Guru Fikih kok gitu” semua cacian terdengar jelas saling menimpali. Kedua tanganku dipegang semakin kencang mengitari pesantren, beberapa ada yang mau menyiramku dengan comberan, tapi dicegah oleh kang Mahmud. Aku berlanjut diarak ke kompleks pesantren putri, disana juga ada rumah kiai, jarak dengan pesantren putra sekitar 30 meter. Beberapa santri mengikutiku di belakang, ocehannya terus bersahutan.
Aku sampai di kompleks pesantren putri, beberapa santri putri yang berkumpul di halaman bergegas masuk ke dalam kamar dan mengerahkan teman temannya untuk keluar menyaksikan, hanya hitungan sesaat, lantai satu hingga lantai dua dipenuhi oleh santri putri, semua menyaksikanku, Aku hanya bisa menunduk menahan malu.
Aku diarak sampai di depan rumah Kiai, Kiai sudah berdiri di depan pintu, teriakan santri langsung terhenti, ku lihat ibu Kiai dan Neng Asna mendampingi, aku melihat Neng Asna, ia melirikku sebentar lantas kembali menunduk.
“ Tinggakan Kang Zafi sendiri, copot kardusnya dan kondisikan semua santri “
“ Injih Kiai “ jawab pengurus berbadan kekar, lalu mereka bubar berhamburan..
Aku berdebar, ini merupakan kali pertama aku menghadapi kenyataan yang amat memilukan, apalagi saat ini aku sedang di depan Kiai, aku sudah tak bisa membayangkan apa hukuman yang akan aku dapatkan.
“ Mas Zafi, silahkan masuk “ Kiai mengajakku masuk, aku mengikuti dari belakang
“ Ada apa ini Kang? “ tanya Kiai
“ Saya mohon maaf Bah, saya telah melanggar aturan pesantren, saya surat menyurat dengan seorang akhwat “
“ Siapa ?“
Aku bergidik, jantungku berdetak kencang, aku melirik Neng Asna, seolah ingin memberikan kode, apakah aku bisa mengatakan semuanya, belum sempat aku berkata.
“ Sama Asna Bah, “ jawab Neng Asna
Kiai malah tertawa, aku semakin kebingungan menentukan sikap
“ Dek Asna, mau lanjut kuliah atau langsung Abah nikahkan “ jawab Kiai
Aku langsung terkejut dengan pertanyaan itu, Neng Asna pun terlihat menatap tajam ke arah Abahnya.
“ Biar Asna sekolah dulu Bah, ia masih kecil “ jawab umi, istri Kiai
Neng Asna mengangguk, Aku hanya memandang lantai, mataku tak berani melihat kea rah Kiai atau Ummi.
“ Kang Zafi, jelas ya.. jadi kang Zafi tahu apa yang harus dilakukan? Dan mulai hari ini sampai waktu yang belum ditentukan, Kang Zafi digantikan dulu sama Ustadz Mujib untuk mengajar Fikihnya “ Kata Kiai
Aku mengangguk “Injeh Kiai”
Semenjak kejadian itu, aku sudah tak pernah berhubungan lagi dengan Neng Asna, aku ditaruh di kamar khusus untuk diasingkan, Aku hanya diijinkan keluar saat sholat berjamaah dan pengajian,  aku duduk sendirian tak ada yang sudi menemani, pernah kang Mahmud tapi ia diancam oleh pengurus berbadan kekar, aku tak lagi ke ndhalem karena rasa malu masih menghantuiku dan aku sudah tak mengajar fikih lagi, hanya bisa memandang Ustadz Mujab mengajar dari dalam kamar pengasingan.

Juli, 2014
Lima bulan berlalu, mulai ada kabar baik, pengasinganku telah selesai, aku kembali ke kamarku yang dulu, kiai Hamdi memberikan kepercayaannya lagi agar aku mengajar Fikih, namun khusus santri putra, sedangkan santri putri diajar oleh Ustadz Mujab, tapi pandangan sinis dan sindira sindiran masih sering aku dengar..
Setelah mengajar Fikih, secara diam diam mba santriwati dhalem memberikan surat kepadaku, ia menaruh suratnya di antara tumpukan buku fikihku. Aku paham betul tulisan di surat itu. Aku membacanya
“ Assalamualaikum Kang
Saya meminta maaf yang sebesar besarnya, atas kesalahan saya, sampean terkena imbasnya, saya pun minta maaf karena saya pergi ke Yaman tanpa pamitan ke sampean, saya takut kalau terjadi fitnah lagi, saya minta doanya saja semoga semuanya lancar.
Terimakasih untuk semua ilmu dan kebaikan yang sampean berikan
Wassalamualaikum
Asna”
Aku lemas, tubuhku bergetar dan suhu tubuhku menurun tajam. Asna sudah pergi ke negeri yang jauh di mata untuk sekian lamanya. Katanya surat ini sudah empat bulan yang lalu ditulis, namun baru bisa diberikan karena aku baru selesai menjalani hukuman, itu artinya Neng Asna sudah sampai di sana. Aku menutup suratnya, seraya ku aminkan doanya. Ada cairan hangat yang mengalir di pipiku.

Juli, 2018
“ Kang Zafi, sampean disuruh ke ndalem, sekarang” kata seorang santri di depan kamar menyadarkan lamunanku.
dengan sigap, aku merapikan bajuku dan segera melangkah ke ndalem, Kiai Hamdi mempersilahkanku duduk di atas kursi, sebenernya aku sungkan, tapi Kiai Hamdi sedikit memaksaku, tak berapa lama Neng Asna keluar dari dapur dan memberikan minuman kepada kami. Aku tak berani melihatnya, aku hanya menundukkan pandanganku.
“ Silahkan tehnya diminum Kang “, sahut Kiai Hamdi seraya menyeduh segelas teh.
Inggih Bah” balasku, dengan menyerutup teh manis.
“Jadi gini Kang Zafi, Alhamdulillah sebentar lagi saya mau punya mantu, Asna putriku mau menikah, yah aslinya dah lama rencana ini, memang para santri tidak saya bri tahu dulu, menunggu Asna pulang dari Yaman, lhah sekitar sebulan lagi akad dan resepsi akan dilaksanakan, nanti acaranya di pesantren saja, selain lebih hemat biar antum dan para santri bisa turut andil, jadi nanti para santri dibagi tugas dan diarahkan, untuk perlengkapan yang dibutuhkan. “ terang Kiai Hamdi dengan sangat jelas dan runtut.
“ Insyaallah Bah, maaf jika lancang Bah, kalau boleh tahu, calon mantu abah aslinya dari mana?” tanyaku dengan hati hati.
“ oh, tidak apa apa Kang, Insyaallah dengan Ustadz Zaid, Putra Kiai Wahid asal Jember, Beliau lulusan S2 di Yaman juga dan sekarang menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ” jawab Kiai Hamdi dan aku diam seraya menganggukkan kepala isyarat paham.
            Entah kenapa penjelasan dari Kiai Hamdi meninggalkan jejak luka di hatiku, seolah semangatku luntur, harapan tinggi yang ku gantungkan telah musnah, Di satu sisi aku adalah santri, seperih apapun hatiku, aku tetap harus mempersiapkan segala keperluan untuk resepsi nanti. Seseorang yang ku nantikan selama empat tahun kini sebentar lagi akan menikah.

Agustus, 2018
            Seluruh santri terlihat rapi, mengenakan koko putih bersarung hitam seragam. Tenda berdiri memenuhi halaman pesantren, semua mondar mandir sesuai dengan tugasnya, ada yang menyambut tamu, pramusaji, menata meja dan kursi, menyiapkan konsumsi, mengambil piring dan gelas kotor serta menunggu gantian tugas. Suara sholawat dari sound system mengiringi riuhnya hari ini. Begitupun denganku, akulah yang mengontrol semuanya, Kiai Hamdi memercayaiku sebagai penanggung jawab. Mentari kian menampakkan wajahnya, rombongan tamu dari berbagai tempat semakin banyak berdatangan, tak ada lagi santri yang menunggu gantian tugas, semuanya bekerja.
Tak berapa lama, rombongan dari keluarga mempelai laki laki datang, terlihat Ustadz Zaid dengan mengenakan jas hitam penuh wibawa. Begitu juga dengan Kiai Wahid, dengan segera para santri menyalaminya, aku terdepan, aku salami Kiai Wahid seraya menciumnya, begitupun dengan Ustadz Zaid.
“ Ustadz, selamat ya, semoga berkah “ kataku kepada Ustadz Zaid sambil merangkulnya
“ Iya makasih kang Zafi, segera nyusul ya” balas Ustadz  Zaid sambil tersenyum. Aku belum begitu mengenal Ustadz Zaid, baru seminggu yang lalu kami kenal, tepatnya ketika aku mengantar undangan ke Jember bersama Kiai Hamdi.
“Subhanallah” batinku.
Ketika melihat Neng Asna keluar dari pintu ndalem, menuju pelaminan, dengan gaun khas Jawa Tengah berwarna hijau dengan untaian jilbab bermotif serasi dengan gaunnya, menambah ayu wajahnya, aku sendiri dibuat pangling olehnya, tidak berias saja sudah cantik. Diam diam di belakang Ustadz Zaid aku ikut melihatnya meskipun hanya sekilas. Setidaknya mengobati kerinduanku. Menurutku Ustadz Zaid adalah laki laki yang paling beruntung bisa mendapatkan bidadari secantik Asna, bidadari yang memiliki kecantikan yang lengkap. Akad nikahpun berjalan dengan lancar, berganti dengan acara foto foto. Aku berlari meninggalkan keriuhan ini, aku kembali ke kamar, entah kenapa tubuhku lemas, pikiranku kacau dan mataku, tak mampu menahan air mata.
            Pada hari ini, satu satunya wanita yang selama ini ku harapkan telah menemukan pasangannya. Sekarang aku haram lagi menaruh harap terhadapnya. Aku memang sangat mengaguminya. bahkan aku sempat menulis sebuah surat balasan untuknya, tapi aku menyadari bahwa surat itu hanya akan berujung masalah, lalu hanya aku selipkan di antara tumpukan tumpukan kitabku.
            Benar kata Mahmud sebelum ingin meraih bintang, kita juga harus sadar seberapa tinggi bumi yang kita pijak. Aku harus sadar, aku hanyalah santri abahnya. tapi satu sisi aku ikut bahagia karena Asna mendapatkan laki laki yang sepadan dengannya.
 Selamat tinggal Asna, semoga kamu bahagia.
-Sekian-