Hujan turun tiba tiba. Deras tanpa aba
aba. Semua petani beranjak dari ladangnya. Ada yang mencari pohon besar di
larit ladang. Ada yang berteduh di angkringan serta karung gabah sekejap
menjadi payung dadakan.
Amar bergegas menggiring kambing kambingnya. Hujan
tanpa aba aba seperti ini menjadi momok baginya. Berbeda dengan petani yang bisa
berteduh. Tidak dengan Amar yang harus tetap melawan derasnya hujan. Kalau ia
berteduh maka kambingnya berhamburan ke ladang orang. Itulah kenapa ia harus pintar
meramal cuaca.
Amar bergegas kembali ke rumah, hujan semakin deras.
"Mar..ini Emak buatin kopi, supaya tubuhmu hangat"
kata Bu Murni sambil meletakkan segelas kopi berkepul asap.
"Terimakasih Mak" ucap Amar sambil
memindahkan kaki dari atas meja.
"Besok, jadi berangkat ke Pesantren tho?"
"Ngga ah Mak. Nanti siapa yang bantu Emak?"
Jawab Amar dengan menyerutup kopi di depannya.
"Tenang Mas, Faha akan membantu Emak, gini gini
Faha juga bisa lho gembala kambing, Faha udah bisa meramal cuaca juga hehe"
Faha menyengir dan memalingkan pandangannya dari TV, menghampiri
Amar dan Ibunya.
Mereka berpelukan hangat. Mengalahkan hangat kopi di
atas meja. Tubuh Amar berangsur pulih. Pelukan Ibu dan adeknya memang obat paling
mujarab.
....
Semburat sinar mentari begitu cerah, melewati celah bilik
bambu rumah Amar. Kicauan burung melengking tajam saling berkejaran. Bu Murni
dan Faha sibuk merapikan baju Amar, memasukkannya ke dalam koper yang telah
usang.
Amar masih sibuk memberi makan kambing. Rumput yang hijau
menggoyang lidah. Tak lupa ia memberikan salam perpisahan kepada kambingnya.
" Mas, cepet, udah ditunggu Bang Jek itu lho
" sahut Faha
" Iya iya Sayang " jawab Amar dengan
mengenakan handuk
Dua puluh menit berlalu. Bang jek selesai memanaskan
motornya. Sampai dingin lagi. Amar baru saja keluar. Mengenakan kemeja panjang
bergar, celana bahan hitam dan kopiah putih bermotif apik. terlihat tampan dan
menawan ,-kata Ibunya di sepanjang jalan menuju halaman rumah.
Amar menyalami ibu dan adiknya, lalu saling berpelukan,-
cukup lama. Seperti sebelumnya. Pelukan adalah obat yang sangat mujarab.
Suara kambing di kandang saling bersahutan seolah iri
dan ingin ikut berpelukan. dasar kambing kesepian.
" Mak, Dek. Amar berangkat dulu, nanti Amar
hubungi lewat telepon " pamit Amar seraya menempelkan pantatnya di atas
jok motor Bang Jek .
Amar pergi. Hanya kepulan asap motor dengan aroma
pembakaran bensin yang masih tertinggal. Bu Murni dan Faha saling bertatap
terlihat jelas air mata yang menggumpal. Selama tujuh belas tahun Amar tak
pernah pergi kemanapun. Pagi ini Amar harus meninggalkan mereka. Mereka berdua
berpelukan terdengar sesenggukan haru.
" Eh nduk. Emak lupa " kata Bu Murni. Faha menatap
penasaran
" Celana dalam masmu, belum Mak masukkan ke koper
"
" Oh iya Mak? "
Faha tertawa, disusul ibunya.
...
Empat puluh tiga menit berlalu. Suara bising knalpot
motor Bang Jek mati. Bukan mogok. Tapi sengaja dimatikan. Amar masih duduk di
atas jok. Ia mengamati sekitar.
Di depannya terlihat bangunan putih tidak terlalu
besar. Bangunan itu memiliki tiga lantai. Lantai satu dan dua terdapat berjejer
jejer kamar dan lantai paling atas terdapat jemuran.
Orang orang bersarung dengan kopiah yang bermotif
berlalu lalang. Suara Murottal jelas
terdengar saling bersahutan.Amar sudah disambut oleh pengurus pesantren, lalu
ia menuju kamarnya.
" Assalamualaikum Kang " sapa lelaki
berkopiah
" Waalaikumussalam Kang " terdengar sahut
beberapa orang dari dalam kamar
" Ini ada santri baru yang nanti akan menetap di
kamar ini bersama kalian. Namanya kang Amar " lelaki berkopiah mengkode
Amar. Amar peka,- Ia tersenyum melongok ke dalam kamar. Terlihat orang orang
berkopiah sedang berkumpul.
" Ahlan Wa Sahlan kang fii Hadzihil Gurfah,
selamat datang di kamar ini "
Sapa salah satu laki laki berkopiah. badannya hitam
lekam
" Ana bi khoir walhamdulillah " jawab Amar
dengan percaya diri. Jawaban gampang. Pikirnya
Terdengar suara tawa kecil. Para penghuni kamar
termasuk lelaki berkopiah di samping Amar. Ia tak kuat menahan tawa. Semua pun
ikut. Kamar pojok menjadi rame saat itu. Amar menyeringai sambil menggaruk
kepalanya.
" Mereka butuh pelukan, supaya mereka sembuh dari
ketidakjelasan " batin Amar sambil melangkahkan kaki ke dalam kamar.
Di dalam kamar pojok terdiri dari empat orang termasuk
Amar. Dua orang berparas Jawa tulen satunya lagi berparas Sunda.
Tak butuh waktu lama bagi Amar untuk membaur dengan
teman temannya. Apalagi setelah tragedi barang Amar yang ketinggalan. Tak salah
lagi celana dalam.
" Astaghfirullah. Kebiasaan nih Emak "
gerutu Amar ketika membuka isi kopernya. Ia tak menemui barang berharga itu di
sana
" Kenapa Kang? " tanya salah satu penghuni
kamar ketika melihat kebingungan wajah Amar
" Ini kang, celana segitigaku ketinggalan "
jelas Amar sambil nyengir
" Hallah.. udah kang, ngga usah pake juga ngga
masalah" tukas penghuni yang lain. Kemudian semua tertawa. mereka dengan
cepat membaur. Meskipun belum sehari berlalu tapi keakraban penghuni kamar
pojok sudah mulai terasa.
.......
Matahari terbenam di balik dinding pesantren. Semburat
sisa cahayanya mengundang senja.
Amar sudah rapi. Sarung bergaris, kopiah bermotif. Semua
penghuni kamar pojok berkumpul. Sambil ngemil jajan kerupuk aking sambal tomat yang
dibawa oleh Amar.
Towet towet kring kring..
Amar hafal betul
dengan bunyi itu. Ia bergegas menuju lemarinya. Hp terus bergetar. Lampu layarnya
menyala. Terdapat nomor Ibunya yang tertera di layar. Amar tersenyum.
"
Assalamualaikum" Sapa Amar dari balik telepon
"Waalaikumussalam
le, gimana kabare?"
" Masuk
angina Mak, ngga pakai celana dalam “ gerutu Amar
" Haha.. gak
apa-apa, kan sementara dulu mas. Lagian ada celana panjang dan jeans tho?
Hihi" terdengar suara Faha yang ikut nimbrung
" Asyem kamu
dek. Tak slentek nanti"
" Mar..jangan
lupa wasiat bapak ya" Kata Ibu Amar mulai serius
" Iya Mak
ingat. Aku harus membawakan pasir dari Mesir kan? dimasukkan ke dalam gelas
kaca lalu ditaruh di pojokan rumah, terus aku harus beli poster Cleopatra dan
ditandatangani oleh pedagang Mesir dengan spidol warna biru?
" Betul
sekali " jawab Ibu Amar mantap
" Mak, kok
wasiat Bapak aneh si Mak?"
Tut Tut Tut.
Sambungan telepon
terputus.
" Ah
kebiasaan " batin Amar.
Amar termenung memikirkan
cara untuk memenuhi wasiat bapaknya. Meskipun wasiat bapaknya terbilang aneh.
Tapi ia harus memenuhinya. Amar sering berpikir kenapa bapaknya ketika bewasiat
ngga dipikir matang matang. Buat apa coba harus mengambil pasir Mesir dan
diletakkan di pojok rumah? Bapaknya mungkin tidak pernah melihat peta atau Google Maps kali ya kalau Mesir itu
sangat jauh. Selain jarak juga butuh uang banyak. Makan buat sehari hari saja
udah ngepas,-Pas banget
…….
Bulan berganti tahun. Hari berganti
minggu, tak terasa sudah satu tahun Amar hidup di pesantren.
Penghuni kamar
pojok semakin akrab, buktinya saja sebulan yang lalu. Waktu acara ulang tahun
pesantren diadakan lomba K7 pesantren. Hasilnya mengejutkan. Kamar pojok yang
dulu “terpojokkan” kini menjadi kamar idaman bagi santri yang lain. itulah
bukti kekompakan Amar Cs. Meskipun satu tahun telah terlewati. Pesona Amar tak
pernah memudar bagi penghuni kamar pojok. Bukan faktor ketampanannya sebab yang
berhak mengakui ketampanan Amar hanyalah Bu Murni. Tapi pesona sikap jenakanya.
Kini tak lagi isu celana dalam yang dibahas. Tapi tentang wasiat bapaknya yang
sudah mau jatuh tempo. Alias kadaluarsa.
Dua bulan yang
lalu Bu Murni menelepon kembali. Bisa ditebak ibunya tanya kabar dan
mengingatkan wasiat bapaknya. Bahkan ibunya berkata kalau Amar tidak boleh
pulang ke rumah sebelum ia bisa menunaikan wasiat bapaknya. Pilihan yang sulit
bagi Amar.
Setelah
itu, Amar terus memutar otaknya, mencari penghasilan untuk bisa berangkat ke
Mesir menunaikan wasiat bapaknya. Ia menjual sayuran, mengambil dari pasar lalu
menjualnya kembali kepada warga sekitar pesantren, sebelum fajar, Amar berbegas
belanja, lalu kembali ke pondok saat dagangannya habis. Amar juga menjaga toko
pulsa pada malam hari, setelah mengaji di pesantren hingga dini hari, seperti
itu terus. Akibatnya Amar ketinggalan materi mengaji, alhasil hukuman demi hukuman
menjadi langganan baginya.
Penghuni kamar
pojok tidak tega melihat Amar sempoyongan, ketinggalan mengaji dan kurang
istirahat, bahkan kini Amar jarang sekali di kamar, kecuali sewaktu mau mandi
dan buang air besar.
Setelah usul
pendapat dan rembugan, tercetuslah ide mereka akan mengajak Amar membuat sebuah
warung untuk santri di pesantren.. Mereka beri nama Warung Segitiga karena terinspirasi dari bentuk celana dalam Amar
yang ketinggalan. Modal mendirikan warung tersebut berasal dari pinjaman
Koperasi pesantren. Warung Segitiga menyediakan berbagai kebutuhan santri.
Mulai dari kebutuhan mengaji seperti bulpoin, kitab-kitab yang diajarkan di
pesantren, alat sholat, alat mandi dan tak ketinggalan celana dalam. Ide menjual
celana dalam berasal dari Amar. Namun Turmudzi yang beli di pasar, ternyata
laris juga. Celana itu pesonanya tak pernah memudar.
Warung itu sedikit
demi sedikit menjadi tambahan penghasilan bagi penghuni kamar pojok. Tapi ujian
selalu ada. Seperti halnya pepatah dari Tegal. Namanya warung itu pasti ada
rintangan yang terjal dan harus dilalui. Semenjak dibukanya warung Segitiga itu
sudah beberapa kali mereka harus merasakan takzir
atau hukuman dari pengurus pondok sebab tak ikut mengaji. Meskipun mereka
menggunakan sistem jaga warungnya bergantian. Tapi tetap saja mereka sering bolos
mengaji. Tiga kali mereka sudah merasakan takzir.
Takziran itu tak
lekas menyurutkan semangat Amar Cs untuk tetap mengembangkan warung Segitiga. berkat
keuletan dan kerja keras serta perbaikan sistem. Usaha mereka menemui hasil
yang positif. Bahkan perkembangan warung Segitiga semakin pesat. Hanya tiga
bulan berdiri Warung Segitiga sudah membuka cabang di pesantren lain. Meskipun
sederhana tapi warung Segitiga sudah memiliki pesona sendiri di hati para
santri.
"
Assalamualaikum Kang Bro "
Terlihat sosok
Turmudzi dari balik pintu
"
Waalaikumussalam Kang "
Jawab serempak
penghuni kamar pojok. Tapi Amar tak ada di sana
Turmudzi mulai
menyampaikan maksud yang dititipkan oleh Amar. Amar ingin meminjam dulu uang
pemasukan dari warung Segitiga untuk biaya keberangkatannya ke Mesir
Tak perlu waktu
lama bagi Turmudzi untuk menunggu persetujuan para penghuni kamar pojok. mereka
semua sudah paham kondisi Amar. Kesepakatan berjalan mulus. Turmudzi tersenyum
riang.
" Terima
kasih teman teman "
Suara Amar
mengagetkan penghuni kamar pojok. Ternyata dari tadi ia bersembunyi di balik
pintu. dengan gesit ia merangkul tiga teman sekamarnya. Mereka pelukan karena
pelukan adalah obat yang paling mujarab.
..............
Knalpot Turmudzi mengepulkan asap putih
sepanjang jalan.
Di belakangnya
Amar terus tersenyum. Bercermin ke bagian belakang helm Turmudzi dan bernyanyi
nyanyi kecil.
Sesekali ia
berteriak dan mengagetkan Turmudzi yang mengendarai motor. Ia bahagia. tinggal
menghitung hari, ia akan berangkat ke Mesir, memenuhi wasiat bapaknya.
Tiga puluh menit
berlalu. Mereka berdua sampai di sebuah tempat agen tiket pesawat.
" Mar.. kau
mau naik pesawat apa?" Tanya Turmudzi
" Kerucut
Airways Tur "
Towet towet kring kring
Ada telepon masuk.
Amar sedikit menjauh dari Turmudzi dan terlihat serius mendengarkan suara orang
di balik telepon. Tiba tiba Amar naik kembali ke jok motor. Turmudzi kebingungan
melihat tingkahnya.
"Tur..ayo ke
Rumah Sakit Umum"
Amar menatap
Turmudzi serius. Turmudzi langsung menghidupkan motor.
" Kenapa Mar?
Siapa yang sakit?" Kata Turmudzi sambil menatap jalan
" Emak Tur.
Tadi Faha nelpon. Emak malam ini harus dioperasi"
" Lho sakit
apa Mar"
" Diseruduk kambing
Tur. Kakinya patah. Ada saraf yang kejepit. Emak belum sadarkan diri Tur"
"Kambingnya
gimana?"
"Alhamdulillah
masih baik Tur"
Jawab Amar seraya
menunjukkan jalan menuju Rumah Sakit Umum.
Empat puluh tiga
menit waktu dibutuhkan untuk sampai di Rumah sakit. Amar lompat dari jok motor
disusul oleh Turmudzi. Dia menyandarkan motornya di tembok parkiran.
" Emak….......
"
Amar masuk ke
dalam sebuah ruangan, terlihat Faha di sana sedang duduk memegang tangan Ibunya.
Amar memeluk ibunya dengan erat. Turmudzi hendak ikut tapi dilarang oleh Faha.
Amar sesenggukan.
Bu Murni tersadar.
Matanya terbuka lebar.
"Emak.... Emak
harus sembuh"
"Iya Mar.
Kamu udah booking pesawat buat besok
ke Mesir?"
Amar menangis. Ia
tak kuasa menyeka air matanya.
" Ngga jadi
Mak. Amar gunakan dulu buat bayar rumah sakit "
" Lhoh kan
ada BPJS ?"
" Emak, dulu
kan nggak jadi bikin tho, malah panen bawang merah di ladang"
jawab Faha.
" Emak jangan
khawatir, Amar akan menabung lagi buat ke sana "
Jawab Amar. Ia
semakin erat menggenggam tangan Ibunya.
Faha menggegam
erat tangan Amar. Ia menoleh. Lalu mengangguk.
Bu Murni tersenyum
begitupun Faha.
Turmudzi hanya
berdiri terpaku di samping Faha. Membisu dan menjadi pengamat. Ia merasa
terlibat langsung dengan masalah yang menimpa Amar.
" Faha.
Tolong ambilkan buku Emak di tas, kasih ke Masmu"
Amar menerima buku
itu. Buku tebal yang usang karena lembaran lembarannya sudah berwarna
kekuningan. Buku itu tak jauh beda dengan buku tulis biasa. Amar membukanya.
"
Buku Wasiat "
Buku
ini bapak tulis, sebelum bapak meninggal.
Bapak berwasiat untuk anak anakku:
Pertama.
Kalau nanti kalian besar. Kalian harus masuk pesantren. Supaya kalian punya
pengetahuan agama Islam yang baik
Kedua.
Kalian harus tetap selalu ada buat Emak. Seperti halnya Mesir dan Sungai Nil.
Dimana ada Mesir maka ada sungai Nil begitupun sebaliknya
Ketiga.
Kalian harus seperti pasir di Padang gurun. Semakin erat kalian dikekang maka
kalian akan mudah meloloskan diri dari sela sela tangan. Maka kalau hidup
menekan kalian. Kalian harus tetap memanfaatkan kesempatan.
Keempat.
Kalian harus seperti Cleopatra yang pesonanya tak akan pernah memudar dan akan
terus dikenal dengan kebaikan yang dimilikinya
Terakhir.
Bapak ingin sekali kalian bisa ke Mesir dan melanjutkan studi di sana. Kalau
ada rejeki. Paling tidak kalian ke sana dan berdoa untuk Bapak. Karena di sana
adalah negeri para Nabi. Bangunan piramidanya yang megah sebagai lambang
kejayaan. Begitupun harapan bapak ke kalian.
Salam
sayang dari bapak untuk kalian. Emmuah
Setelah
menuliskan surat wasiat ini bapak akan meninggal
Amar membuka lembaran lagi
“Catatan Hutang”
“Catatan Hutang”
Parjan: 3 krat
botol Indoteh
"Cukup Mar,
maklum bapak hanya punya satu buku" kata Ibunya sambil tersenyum
Amar menutup buku
usang itu. Ia menatap Ibunya. Seolah ada pertanyaan yang ingin Amar lontarkan..
Tetapi Amar terdiam..
Amar menoleh ke
Faha penuh tanya.
Faha menampilkan
ekspresi datar. Tak berkata apapun.
Amar keluar
ruangan. Tanpa pamitan. Faha mengikutinya di belakang.
" Mas..
maafin Emak " Faha menghentikan langkah Amar
" Dek. Emak
itu kebiasaan menyimpulkan sesuatu seenaknya" jawab Amar sembari duduk di
deretan kursi tunggu
" Mas tahu
kan Emak nggak begitu paham dengan tulisan dan waktu membaca buku itu Emak
sedang buru buru ngangkat jemuran "
" Maklum
gimana? Seharusnya Emak tak menganggap semuanya remeh kan Dek” Amar meninggikan
nada suaranya
“Mas kok begitu?
Faha minta maaf Mas “ pinta Faha kepada Amar
“Kamu itu ngga tahu apa apa. Kamu ngga tahu kan. Bagaimana Masmu ini berjuang untuk melaksanakan wasiat bapak. Masmu ini hanya tidur dua jam setiap harinya. Menjalani hukuman demi hukuman demi mengumpulkan biaya ke Mesir bahkan selama tiga bulan Mas tak memakai celana dalam? "
“Kamu itu ngga tahu apa apa. Kamu ngga tahu kan. Bagaimana Masmu ini berjuang untuk melaksanakan wasiat bapak. Masmu ini hanya tidur dua jam setiap harinya. Menjalani hukuman demi hukuman demi mengumpulkan biaya ke Mesir bahkan selama tiga bulan Mas tak memakai celana dalam? "
" Mas "
potong Faha yang tak bisa membendung air matanya. Suaranya parau
" Kabar
keberangkatan ke Mesir sudah terdengar ke seluruh penjuru pesantren dan
sekitarnya. Setiap gardu listrik ada foto Mas di samping tempelan sedot WC. Tadi
mas sudah di depan agen tiket pesawat. Tapi semua batal. Apa sih maunya Emak?.
" Amar menatap tajam Faha
"
Astaghfirullah, Mar. Tak disangka kamu punya pemikiran itu. ibumu sedang sakit.
Thoh aku sudah menghubungi penghuni kamar pojok kalau duit itu digunakan untuk
biaya pengobatan ibumu. Mar Mar. Soal pamfletmu digardu listrik, nanti kita
bisa kasih kumis, biar ndak ketahuan kalo itu kamu, Manusia hanya bisa
berencana Mar. Sedang Allah yang menentukan.. Birul walidain lebih penting Mar.
kamu pasti sudah tahu itu” Kata Turmudzi
Turmudzi
memberikan isyarat kepada Faha untuk meninggalkan kakaknya sendiri. Faha
menurut.
Amar menangis.
Sesenggukan. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ia buntu
" Kakakmu
mana Fa? " tanya ibu Amar
" Lagi
ngangkat telepon Mak" jawab Faha dengan menatap sayu ke ibunya. Faha
berbohong
Amar masuk ruangan
menyeringai. Ia tersenyum lalu memeluk Ibunya. Faha juga ikut mendekat dan
melakukan hal yang sama.
Faha
melihat Amar dengan tatapan kemarahan serta kebingungan.
“ Maafkan Mas. Mas lupa bapak berwasiat untuk selalu menjaga Emak dan kamu. Seperti halnya Mesir dan sungai Nil “ Amar berbisik. Faha tersenyum tipis lega.
“ Maafkan Mas. Mas lupa bapak berwasiat untuk selalu menjaga Emak dan kamu. Seperti halnya Mesir dan sungai Nil “ Amar berbisik. Faha tersenyum tipis lega.
Mereka berpelukan.
Turmudzi mau
ikutan, tapi dilarang oleh Amar, Semua tertawa.
-Sekian-
Social Icons