Hujan tadi sore belum juga berhenti, Zen menghangatkan tubuhnya, ia duduk di kursi kayu ruang tengah, segelas kopi dengan aroma khas di atas meja dan beberapa potong ketela rebus, matanya perlahan menyempit rasa lelah ditambah dengan bunyi hujan di luar rumah membuat kantuk tak bisa ditahan.

“Diarrr… Diarrr”
Terdengar bunyi keras dari belakang, Zen terperanjak dari kursi ia segera berlari menuju ke sumber bunyi yang ternyata berasal dari dapur.
“ Emak………..”
Teriak Zen ketika melihat ibunya tersungkur di lantai, beberapa perabot dapur tergeletak di sampingnya, Zen segera membangunkan ibunya ia pegang lengan ibunya dengan kuat.
“Udah, Emak baik baik saja Zen” kata Ibu Zen dengan nada lirih menahan sakit.
Zen membopong ibunya, ia kaitkan kedua tangannya sedikit sempoyongan, lalu ia membaringkan tubuh ibunya di atas ranjang. Zen memandang ibunya dalam dalam terlihat ibunya masih merintih kesakitan, Zen paham bahwa ibunya sangat pintar menyembunyikan rasa sakit. Ia terus memijat kaki ibunya terlihat lebam biru yang mulai tampak jelas. Setelah beberapa lama ibunya tertidur.
Zen menuju ke ruang tengah, ia memikirkan kondisi ibunya beberapa luka lebam hampir merata di tubuhnya semua itu terjadi karena Ibu Zen mengalami gangguan penglihatan, sudah lima tahun ibunya mengidap rabun jauh, dua tahun yang lalu Zen sudah membelikan kacamata untuk ibunya, karena rabunnya semakin bertambah, kacamata yang dibeli dua tahun silam sudah tidak dapat digunakan, Zen tak mampu membelikan yang baru atau sekadar mengganti lensanya.
Zen menyerutup kopi hingga sampai ke ampasnya, ia terus memutar otaknya, ia mulai mengambil selembar kertas mencoba merumuskan konsepan besar dalam pikirannya.

Beberapa jam berlalu, deras hujan perlahan mereda  otak Zen terus bekerja, mesin yang ada di dalamnya terus bergerak, puluhan lembar kertas terbuang di sekitarnya, Zen tak akan mengalah dengan waktu, bahkan satu bulan pun akan ia tunggu sampai ia mendapatkan gambaran atas konsepannya. Ini semua demi ibunya.
“ Ya, Kacamata ini adalah solusi yang pas buat Emak“ gumamnya
Zen dengan jelas menggambar kacamata untuk membantu penglihatan ibunya, rancangan kacamata dengan teknologi mutakhir, Ia menggunakan dua pasang prosesor reseptor gelombang otak di bingkainya untuk menangkap panjang gelombang otak yang dipancarkan oleh pengguna. Prosesor itu tersambung dengan memori yang berada di bagian tengah kacamata, memori akan menyimpan gelombang otak yang diterima oleh reseptor, lalu memori akan melanjutkan sinyal itu ke bagian lensa yang sudah terdesain khusus menggunakan LED. Lensa akan menerima gelombang yang berasal dari memori, LED yang sudah terpasang miniprosesor secara cepat akan mengubah ketebalan lensa sesuai dengan gelombang yang diterima dari otak. Jadi bagi para pengguna pengidap rabun jauh mereka masih bisa menggunakan kacamata tersebut dalam jangka waktu yang lama tanpa mengganti lensanya, karena mengganti lensa membutuhkan biaya yang cukup mahal seperti yang terjadi pada ibunya sekarang.
Zen tersenyum sendiri melihat sebuah coretan yang ada di kertasnya. Konsep kacamata untuk membantu ibunya. Meski lulusan SMP, ia telah berhasil membuat rancangan mutakhir, itu semua karena semangat membantu ibunya agar dapat melihat dengan jelas.
Zen memegang kepalanya, bukan lagi bingung soal rancangan kacamatanya, tetapi cara muwujudkan mimpinya, Zen menghitung biaya semua komponen yang dibutuhkan untuk membuat kacamata itu, Ia menyandarkan kepalanya di kursi dan menutup matanya barangkali dengan menutup mata kerja otaknya akan lebih optimal.
“Zen, kamu ngga ke ladang ambil rumput Nak?”.
Suara ibu dari dalam kamar, terdengar jelas sampai ruang tengah, rumah Zen tidak luas, jadi jarak antar kamar dengan ruang tengah hanya beberapa jengkal saja. Ternyata tadi malam ia ketiduran, Zen bangun lalu menghampiri ibunya.
 “Mak, boleh nggak Zen jual kambing kambing kita?” tanya Zen
“ Lhah buat apa? Kambing itu satu satunya harta kita Nak” jawab ibunya dengan lirih
“ Buat mewujudkan impianku Mak, nanti Zen akan kerja di pasar Mak “ Jawab Zen dengan memegang tangan ibunya
Ibunya mengangguk setuju, kemudian mereka berpelukan, pelukan antara anak dan ibu adalah obat yang mujarab untuk menambah rasa bahagia.
Zen bergegas menuju pasar kambing, ia angkut kambing kambingnya menggunakan mobil bak terbuka tetangga, ia sisakan satu ekor jantan dan satu betina, sesuai permintaan ibunya, supaya kambing kambingnya bisa berkembang biak lagi.
Zen bertransaksi ia mendapatkan uang, dompet tipisnya berubah menjadi sangat tebal tak bisa ditekuk. Kambing kambingnya sudah jatuh ke tangan orang Zen senang karena uangnya cukup bahkan lebih untuk membeli komponen kacamata impiannya.
Tanpa berlama lama ia langsung menuju toko penjual hardware dekat pasar kambing, hanya menyebarang jalan raya, Zen sangat bersemangat, ia mempercepat langkahnya melewati jalanan kota.
“ Settttt  Brakk….”
Suara rem mobil sedan hitam sangat nyaring terdengar, remnya tak kuasa untuk menahan laju roda. Sedan itu menabrak Zen dan ia terpental beberapa meter ke pinggir jalan. Warga yang melihat berteriak riuh dan berlari menghampirinya, Zen tak sadarkan diri, darah mengalir deras dari kepala, orang orang menggerakkan tubuhnya namun ia tetap tidak bergerak.

“ Ia masih hidup, segera panggil Ambulans “
Ucap seorang pria paruh baya setelah mengetahui denyut nadi Zen masih berdetak.
Tak beberapa lama Ambulans datang, dengan cepat para petugas mengangkut tubuh Zen ke dalam mobil. Ambulans meninggalkan lokasi kejadian. Beberapa Polisi kemudian membersihkan tumpahan darah Zen dan memberikan tanda kecelakaan, semua orang membubarkan diri.
Zen masih tak sadar, kepalanya diperban dan beberapa alat kedokteran tersambung ke tubuhnya. Ibu Zen duduk di sampingnya air matanya terus mengalir, ia menggegam dan mencium tangan Zen.
Sudah seminggu Zen terbaring di atas ranjang, Zen belum sadarkan diri, ia tak membuka matanya sedikitpun. Ibu Zen terus berharap mampu melihat anaknya membuka mata tak ada sesuap nasi yang ia makan, ia tidak peduli yang terpenting ketika anaknya membuka mata, ia melihat ibunya berada di sisinya, Ibu selalu membacakan ayat ayat Al Quran kepada Zen semampunya karena kata dokter hanya mukjizat dari Allah lah yang dapat membantu kesembuhan Zen.
Pada hari ke sepuluh di rumah sakit, Akhirnya Zen sadarkan diri ia membuka matanya jari jarinya mulai bergerak, Ibu Zen beranjak dari kursinya ia segera mendekat ke anaknya lalu ia genggam erat tangan anaknya dan mengelus wajahnya.
Zen melihat ibunya, melihat mata ibunya yang sudah beberapa hari ini tidak tidur. Zen mengusap air mata ibunya dan Ibu Zen berbalas memeluknya. Dokter dan perawat dengan gesit melakukan tindakan. Mereka melempar senyum ke arah Zen seolah mereka saling berbicara bahwa mukjizat Allah akan selalu ada buat mereka yang selalu meminta kepada Nya. Ibu Zen tersenyum haru, beberapa alat kedokteran mulai dilepas dari tubuh Zen hanya meninggalkan infus dan tabung oksigen. Zen sudah bisa tersenyum ia juga sudah bisa berbicara meskipun masih terbata bata.
“ Mak, maafin Zen ya Mak “ Zen memegang tangan ibunya, pandangannya sangat dalam
“ Maaf buat apa Nak, kamu ngga salah“ tanya Ibu Zen dengan membalas genggamannya.
“ Zen sudah buat Mak khawatir dan pasti selama Zen koma Emak tidak tidur dan tidak makan, maaf juga Mak duit penjualan kambingnya malah buat bayar rumah sakit maafin Zen ya Mak “ Kata Zen dengan mengeluarkaan air matanya. Air matanya mulai mengalir ke pipi. Ibu Zen mengusapnya dan tersenyum
“ Iya Emak maafin, tapi kamu harus janji, kamu harus segera sembuh agar kita bisa makan nasi sambal terong lagi di rumah” jawab Ibu Zen kemudian mereka tertawa bersama.­
Seorang pria kekar masuk ke dalam ruangan, mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana kain hitam. Ia menghampiri Zen dan ibunya.
“ Alhamdulillah Zen kamu sudah sadar “ kata pria itu
Zen mengangkat kedua alisnya dan memandang ke arah ibunya. Ibu Zen tahu maksud kode itu
“ Ini Pak Ahmad, dia yang menanggung semua biaya rumah sakit kamu “ Ibu Zen menjelaskan seperlunya.
“ Oh iya Zen, ini saya sudah mendapatkan komponen komponen kacamata yang ingin kau buat, kau mau buat kacamata impian buat ibumu kan? Ambillah! “ kata orang itu dengan menyerahkan beberapa prosesor.
Zen kembali mengangkat kedua alisnya memandang ibunya
“Ibu yang memberi tahu, kisah kisahmu juga tentang impianmu “ terang Ibu Zen dengan mengembangkan senyumnya.
Zen meraih prosesor itu, berterima kasih kepada pria paruh baya di sampingnya. Pria itu membalas dengan anggukan kepala.
Dokter menerangkan bahwa Zen sudah sembuh, tetapi saraf motorik di kakinya mengalami gangguan, selama beberapa tahun, ia tidak akan bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda, ibu Zen bersedih, tetapi Zen memeluknya dan berkata bahwa semua akan baik baik saja.
Mentari pagi bersemangat membuka hari, sinarnya perlahan masuk melalui ventilasi ventilasi kayu. Angin pagi pun tak mau ketinggalan ia berebut celah dengan sinar pagi.
Zen duduk di kursi roda, guratan sinar mentari membangunkannya, ia tak mau ketinggalan pagi ini, karena hari ini akan memberikan jawaban tentang impiannya, kacamata rancangannya akan diuji coba ke ibunya. Zen telah berhasil merakit kacamata yang dilengkapi dengan dua makro prosesor, dua mini prosesor dan memori itu selama setahun. Ibu Zen keluar dari kamar, dengan daster klasiknya, Ia duduk di depan Zen.
“ Bismillah ya Mak “ kata Zen sembari mengambil kacamata buatannya dan memakaikan ke ibunya.
Lampu indikator pada ujung gagang kacamata menyala, Zen tersenyum kacamatanya telah bekerja dan sedang mendeteksi gelombang otak ibunya, butuh waktu lima belas detik bagi lensa LED untuk menyesuaikan tingkat rabun jauh ibunya. Zen menyuruh ibunya untuk membuka mata, lensa LED berubah ketebalannya hal itu bisa dilihat dari kontur sisinya.
“ Alhamdulillah Zen, Emak bisa melihat dengan jelas “ kata Ibu Zen dengan riangnya.
“ Alhamdulillah, Mak, akhirnya Allah mewujudkan impian Zen Mak “ balas Zen sembari menghampiri ibunya.
Ia sangat bahagia melihat kondisi ibunya yang sekarang, Zen kembali melihat senyum cerah ibunya ia tak kuasa menahan tangis, Zen kemudian memeluk ibunya dengan erat.
“ Emak berhak melihat dunia ini dengan jelas “ kata Zen
“ Terima kasih Nak, ibu bangga punya anak sepertimu “ balas ibunya dengan mengusap air mata Zen mereka kembali berpelukan.

#

Demikianlah contoh cerpen fiksi karangan saya, terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat!