PAHLAWAN TANPA SUARA
Tit…tit…tit….
suara klakson motor tua bapak, terdengar melengking dari bilik kamarku, klakson yang khas dan hampir setiap pagi didendangkan untukku, yang bertanda pula  bahwa bapak sudah menunggu di halaman karena memang  hari sudah mulai terang,
Iya pak”
jawabku seraya berlari dari kamarku, setelah ku pastikan pintu kamarku telah terkunci,.
nhe,…”
suara bapak seraya menyodorkan sebuah helm hitam tanpa kaca yang merupakan helm kesayanganku,.


aku menaiki motor tua bapak yang berwarna merah terang, motor bebek sejenis pespa yang umurnya lebih tua dariku, walau demikian motor inilah yang menjadi sahabat sejati antara aku dengan bapak, tanpa motor ini, entah bagaimana aku dan bapak dapat menjalankan aktivitas sehari hari,
nhe “
suara bapak seraya menolehkan kepalanya ke arahku,
iya pak, sudah,,,”
Walau dengan bahasa isyarat namun aku sudah tahu apa yang dimaksud olehnya, maklum dari kecil aku tak pernah  mendengar suaranya dengan jelas,  ia hanya menggunakan ucapan sederhana, namun aku memahaminya, karena memang dari aku kecil sampai duduk di bangku kuliah aku hidup dengan bapak, jadi aku sangat tahu apa yang ia maksud meskipun hanya dengan ucapan sederhana atau isyarat sekalipun.

Suara merdu knalpot bapak perlahan meninggalkan rumahku, rumah yang sederhana dan dibangun dari kayu mahoni, dan bawahnya disangga dengan batu, ya rumah khas Wonosari, atap yang masih menggunakan genting berbahan lempung tak heran jika terjadi kebocoran tatkala hujan datang, atau terkadang  aku dan bapak tidak tidur jika ada hujan besar, karena memang selain genting yang tak kuasa menahan laju air, bilik rumah pun terbuat dari pagar bambu yang hanya dilapisi dengan plastik,.jadi tak heran jika banjir seolah menjadi rutinitas tatkala hujan tiba.
Kini motor bapak tak hanya meninggalkan rumahku, tapi juga meninggalkan Klaten, meninggalkan jejak di aspal jalanan, dan mulai merambah ke perbatasan kota,
Tit…tit. Tit…tit tit tit…..tit..”
tiba tiba bapak memecahkan sunyiku, ia sengaja membunyikan klakson motor berkali kali, padahal kami sedang di jalan raya, tapi aku paham betul maksud bunyi klakson itu,
iya, itu adalah bunyi klakson yang artinya, “ Bapak sayang Dhila,…”, tapi tak biasanya bapak membunyikan klaksonnya di jalan raya seperti ini, malah tidak pernah, namun ada yang aneh dengan sikap bapak kali ini, setelah membunyikan klakson ia memutar kepalanya 90 derajat ke arahku,
dengan mengembangkan senyumnya dan tertawa dengan riangnya,
sementara aku masih memandanginya, dengan senyum yang bercampur rasa kebingungan,.
“ ah,, mungkin bapak melakukan ini karena ia rindu dengan isyarat itu, kan memang sudah lama isyarat itu tak disampaikannya untukku”
Batinku yang masih memandangi bapak paruh baya yang berada di depanku,dengan mengenakan jaket kulit  usang yang menutupi tubuhnya,

setelah dua jam lamanya, dan melewati berbagai gedung pencakar langit,  motor bapak terhenti di depan gerbang kampus,
nhe ya”
Kata bapak seraya menjulurkan tangannya kepadaku, disertai dengan senyuman,
Dhila kuliah dulu pak, Bapak hati hati ya”
aku menyambut uluran tangan bapak dan  menciumnya sembari membalas senyumannya,
bapak memandangiku dalam dalam, entah apa yang terjadi padanya, namun sikapnya tak seperti biasanya. seolah ini adalah hari pertemuan terakhirnya denganku.
Usai bersalaman denganku segera motor bapak melaju meninggalkan aku yang masih terpaku dalam kebingungan, ku lihat laju motor tua yang pelan dan jaket usang yang kelihatan sudah letih,
Sesungguhnya aku iba kepada bapak yang sudah renta namun setiap pagi ia harus mengantarkanku mulai dari aku tamat  SMP hingga aku sekarang mau diwisuda,setelah mengantarkanku, ia harus pergi ke pabrik penggilingan tebu sampai sore hari  kemudian ia menungguku untuk pulang bareng,
aku dulunya ingin agar ngekos atau ngontrak di sekitar kampus, biar bapak tak capek antar jemput aku, tapi ia tak memperbolehkannya, aku pun tak tega jika melihat bapak hidup kesepian dengan kondisi seperti ini, siapa yang akan masak, merawat dan membantu bapak kalau tidak ada aku,
Sementara ibu, mulai dari kelas 2 SMP, aku sudah kehilangan sosok ibu, aku yang dulu masih kecil tak mengerti apa yang terjadi antara ibu dengan bapak, yang aku tahu mereka berdua bertengkar dan kemudian ibu pergi, jika ku tanya dengan bapak tentang masalah apa yang terjadi ia hanya diam, dan seolah mengisyaratkan bahwa aku tak berhak menanyakan hal itu.
Suara bising knalpot bapak mulai hilang dari pandanganku bersamaan dengan debu jalan yang saling mengejar meninggalkanku,segera ku balikkan badanku dan melenggang memasuki gerbang kampus,.

“tit,,tit…”
Suara klakson yang tak asing bagiku, hanya saja kali ini frekuensinya lebih keras
“ Bapak,,,,”
Ku membalikkan badanku dan segera melihat ke sumber bunyi yang aku dengar,. Ku kira itu suara klakson bapak, tarnyata suara klakson mobil Avansa hitam  yang berhenti tepat di belakngku hanya berjarak lima meter dari aku berdiri,
Perlahan, orang di dalam mobil itu membuka kaca mobilnya, terlihat sosok wanita yang tak asing bagiku,
“ dhila,….”
suara wanita paruh baya dengan penampilan nyentrik tersebut menghampiriku, dengan memakai baju mewah dan sepatu berhak tinggi.
“ Ibu,,,,,”
balasku, setelah ia mendekat aku begitu paham  dengan wanita itu, apalagi dengan andeng andeng yang berada di pelipisnya, tak salah lagi ia adalah ibuku, namun penampilannya jauh berbeda ketika ia tinggal bersama aku dan bapak, apakah kini ibu sudah menjadi wanita sukses, apalagi dilihat dari mobil mewah yang ia bawa dengan sopir pribadi yang siap mengantar jemputnya.
“wah anak ibu sudah dewasa dan tambah cantik”
Kata ibu seraya mencubit kedua pipiku kemudian memelukku erat erat,
aku masih terdiam dan masih tak percaya dengan apa yang sekarang ada di depanku,

tiba tiba ibu langsung menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke dalam mobilnya, aku hanya menuruti kemauannya karena memang aku sendiri sangat rindu dengannya, lebih dari 6 tahun aku tak pernah bertemu dengannya, kami pun duduk di jok belakang dan kami mulai meninggalkan kampus dan meninggalkan jejak dimana aku berdiri, di sepanjang perjalanan ibu memelukku erat erat, aku sandarkan kepalaku di pundaknya kemudian ia dengan lembutnya mengelus rambutku,
“ Alhamdulillah Ya Allah, kau pertemukan aku dengan ibu, sudah lama aku tak merasakan kelembutan ini”
batinku seraya mengusap air mataku dan memandang dalam dalam ibu, yang sembari tadi masih dengan lembut dan erat memelukku,
“Maaf Bu, kita udah sampai di rumah”
Terdengar suara seorang pria dari balik kemudi, yang membangunkan aku dengan Ibu, mungkin saking asyiknya aku tertidur dengan pulasnya di pundak ibu begitupun dengan ibu, hingga kami tak menyadari bahwa sudah sampai.
“ ini rumah ibu?”
Tanyaku dengan rasa penasaran, setelah melihat ke arah sebuah bangunan megah yang layaknya gedung gedung sepanjang jalan, sangat berbeda sekali dengan rumah bapak.
“ Iya Nak,… Kamu nanti tinggal disini, ayo kita masuk “
Senyum ramah ibu mengantarkanku ke dalam rumah, aku masih terpana dengan apa yang terjadi di depanku, sebuah desain interior megah bak istana, atap yang menjulang tinggi dan beberapa perabot yang terbuat dari gelas kemilau belum lagi sofa, televisi, almari, guci, lampu, ah.. semuanya terasa belum pernah aku melihat sebelumnya, Tapi kali ini aku bisa melihat, menyentuh bahkan menggunakannya, sungguh sebuah kejutan yang tak ternilai harganya dari ibu,
“ Sayang… kamar kamu itu di atas, silahkan mandi dulu nanti langsung makan malam dengan ibu di bawah”
Kata ibu dengan menunjukkan jarinya ke sebuah pintu kamar di lantai dua, tepat di belakang tangga, rasa kagumku belumlah hilang, aku terpesona akan setiap inchi dari rumah bak istana ini, betapa bahagianya hatiku, jika setiap harinya menggunakan barang super mewah ini,
“ subhanallah………aku ndak mimpi kan “
Ucapku ketika melihat sebuah ruangan besar nan megah, dengan dipan besar yang berada di tengah ruangan, cermin, almari, televisi, ac dan kamar mandi pribadi, rasanya kamar ini jauh lebih besar daripada rumah bapak,
Andai bapak juga tinggal disini, sudahlah lengkap kebahagiaanku”
 Batinku seraya berdiri di atas cermin dan mengeringkan rambutku dengan handuk,
“ Sayang,…ayo kita makan”
Suara ibu yang berada di lantai bawah begitu jelas aku dengar, segera aku bergegas menghamprinya, terlihat beberapa jajaran makanan yang tak dapat aku sebutkan satu persatu bahkan tak pernah aku lihat sebelumnya, meja yang besar pun dipenuhi dengan hidangan, sangat berbeda sekali dengan yang berada di rumah bapak, menu kami pun sederhana, nasi sama tahu ditambah dengan sambal trasi,
“ oh ya,… bagaimana dengan bapak sekarang di rumah ya, siapa yang masak untuknya?”
Fikirku  yang tiba tiba aku teringat dengan bapak, entah apa sekarang yang dilakukan bapak, biasanya seperti ini aku yang memasak untuknya, lalu sekarang siapa yang memasak untuknya?
“Sayang,,, kok malah bengong,,..? ayo dimakan…”
suara  ibu menyadarkan lamunanku, hidangan yang bermacam macam di depanku, kini rasanya tak lebih enak dari tahu dan sambal trasi,.entah mengapa rasanya berbeda sekali ketika makan bersama dengan bapak, walau menunya sangat sederhana namun aku menikmatinya…

“ Sayang maaf ya,,,besok
ibu ndak bisa menghadiri prosesi wisudamu, ibu ada tugas kantor ke luar kota, dan tak bisa dibatalkan, nanti kamu bersama mb inem pembantu kita ya”
Suara ibu tiba tiba berada di belakangku yang sedang sibuk berias diri, semangat yang dulunya bak guntur menyambar, kini seolah bagai benang yang terkena air, padahal semua orang pasti ingin agar orang terdekat mereka hadir tatkala mereka diwisuda,
tapi kini hal itu tak berpihak kepadaku, hal yang dari dulu ku impikan kini hanya sebatas angan yang tak akan pernah terwujud.
“ ah,, bukankah masih ada bapak? Bapak pasti ingin melihat aku diwisuda kan, bahkan bapak pernah bilang bahwa melihat aku diwisuda adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupnya?”
batinku terasa ada angin kesejukan yang mengalir pelan, gairahku kembali tersulut,
“ Maaf ya sayang “
suara ibu yang dengan cepatnya mendekapku, seolah ia merasa sangat bersalah, ia begitu erat bersandar di tubuhku dan mengusap rambutku dengan lembutnya,
Sementara aku hanya diam, dan membalas dekapannya dengan kuat pula ku letakkan daguku di atas pundaknya, namun di satu sisi, aku merasa ada sebuah rasa yang mengalahkan kekecewaan itu, ya itu adalah rasa bahagia, karena hari ini adalah kesempatanku untuk bertemu bapak, tak terasa udah dua tahun lamanya aku hidup dengan ibu, rasa rindu ini tak terbendung lagi, setiap kali ku minta kepada ibu untuk menjenguk bapak, ia pasti selalu beralasan bahwa banyak pekerjaan, dan entah mengapa setiap aku pergi dan pulang kuliah aku tak melihat bapak, aku tak melihat jaket usang, motor pespa tua dan helm tanpa kaca miliknya, padahal jalur pabrik dengan kampusku hanya ada satu, ada jalan alternatif tapi itu sangat jauh dan tak mungkin bapak lewat jalan itu,
dalam dua tahun itu aku tak merasa bahagia, walaupun aku hidup dalam rumah bak istana dan semuanya tercukupi, makanan lezat, pakaian modis, mobil bahkan aku tak perlu repot repot nyuci, masak dan pekerjaan rumah lainnya karena sudah ada mbak inem pembantuku.
“ Sudah ya,, ibu  pergi dulu “
ucap ibu dengan mengusap air mataku diteruskan dengan menciup pipi dan keningku, kemudian dengan segera ia berlalu dari hadapanku,
Setelah suasana  aman, segera pula aku ambil jaket di balik pintu kamarku dan ku ambil tas yang berada di atas dipan, kunci mobil pun tak ketinggalan.
mobil xenia merah pun melaju dan dengan cepat meninggalkan rumahku, baru kali ini aku menyetir mobil sendiri, karena memang ibu tak mengizinkanku untuk menyetir mobil sendiri, setiap mau pergi aku harus diantar jemput oleh sopir pribadi, tapi tanpa sepengetahuan ibu, aku diam diam belajar menyetir dari sopir itu, jadi aku tak kalah lihai untuk menjalankan transportasi roda empat ini,
Setelah tiga jam lamanya meniti jalanan, kini mobilku terhenti di depan gang sempit, ya itu adalah gang menuju rumahku, karena memang rumahku berada di dalam gang dan mobil pun tak bisa masuk ke dalamnya, hanya motor dan sepeda yang bisa masuk ke dalamnya,
aku parkirkan mobil di sebelah kanan gang, ku mulai menelusuri gang yang udah dua tahun lamanya aku tinggalkan, tak ada yang banyak berubah dari kampungku,
setelah menempuh  jalanan gang sekitar 300 m, kini aku sudah sampai di depan sebuah rumah kayu yang disangga bawahnya, dengan atap yang terbuat dari lempung dan pagar yang dilapisi dengan plastik serta dua buah pisang yang berada di depan rumah, sebuah rumah yang sangat berarti bagiku, rumah yang membesarkanku hingga sekarang ini dan rumah yang menyimpan banyak  kenangan dalam hidupku,
“ Assalamualaikum,,, pak.,..”
ku ketuk pintu beberapa kali, namun tak ada jawaban,..
“ pak,,, ini aku fadhilah “
pintu kayu itupun belum ada yang membuka,
“ Bapak,… Buka pak”
dan pintu itu masih sama terkunci rapat,
aku segera mencari kunci pintu yang biasa bapak letakkan ketika ia pergi kerja, namun hasilnya nihil
syaraf kakiku tiba tiba tak kuasa menahan beban tubuhku, aku pun bersandar pada daun pintu dan perlahan jatuh ke tanah,.

“ Fadhilah,…”
terdengar suara keras dari arah depanku, dan membangunkanku sejenak, ku buka mataku, terlihat sosok yang mirip dengan bapak namun umurnya masih muda daripadanya dengan memakai pakaian koko dan peci bermotif di kepalanya, bagaimana tidak mirip itu adalah adik bapak yang merantau di kalimantan.
“ pak lek,,,, dimana bapak? Bukankah ini adalah hari minggu dan pabrik kan libur?”
tanyaku kepada pak lek yang sudah berada di hadapanku, segera aku bangkit dan meraih tangannya,
tanpa menjawab pertanyaanku pak lek mengeluarkan kunci dari sakunya kemudian ia membuka pintu dan menyuruhku untuk duduk, sementara itu ia masuk ke dalam kamar bapak, aku kini hanya bisa terpaku dan memandangi beberapa pajangan figura yang tertempel di pagar, apalagi foto bapak yang mengendarai pespa tuanya, membuatku tersenyum sendiri, setidaknya, kini rinduku kepada bapak sudah terobati walaupun sedikit.
“ dhil…coba ini di buka”
tak berapa lama pak lek  keluar dari kamar dan menyodorkan sebuah amplop coklat yang tertekuk bagian tengahnya, aku pandangi pak lek yang raut wajahnya begitu lesu tak seperti biasanya pak lek yang humoris dan selalu ceria,
aku buka amplop itu,..
“ Foto apa ini pak lek”
tanyaku dengan rasa penasaran ketika melihat sebuah api yang meluluh lantakkan bangunan rumah, gambarnya sudah tak begitu jelas, tapi aku paham betul dengan kobaran api itu,
“ bacalah surat di dalamnya”
jawab pak lek, dengan nada datar dan lemah, laksana keledai yang terjebak dalam lumpur.

Assalamualaikum dhila,
Putriku tersayang,…

Sayang,…
semoga kamu selalu sehat dan dalam keadaan baik,,
oh ya ,..Selamat ya, bapak bangga dengan kamu, apalagi sebentar lagi kamu akan wisuda, sungguh itu adalah kado terindah darimu untuk bapak,
tapi maaf ya sayang bapak tak bisa menghadirinya dan menyaksikan kebahagiaanmu di hari itu,
Sayang,..
Bapak minta maaf karena bapak, kamu seringkali dicaci, karena keterbatasan bapak, kamu seringkali harus dijauhi teman temanmu, sungguh bapak lebih sakit jika kamu menceritakan kejadian itu apalagi jika sampai menangis, terima kasih ya sayang karena selama ini kamu dengan sabar merawat dan menjaga bapak walau bapak hidup dalam keterbatasan dan sering membuatmu malu.

aku berhenti membaca goresan tinta itu, tak kuasa menahan kesedihan yang berkecamuk dalam hatiku, air matapun tak bisa ku cegah hingga jatuh membasahi beberapa penggal kata di dalamnya,.
dengan mengusap linangan air mata yang semakin deras aku lanjutkan isi surat itu,.

Sayang.,..
kamu sudah bertemu ibu kan? Kamu bahagia kan hidup dengannya, maaf  kala itu bapak memang sengaja menyuruh ibu untuk menjemputmu, karena ibu lebih berkecukupan, ia bisa membiayai wisudamu, sedangkan bapak tak mampu,. Walau bapak harus hidup sendiri tak masalah asal kamu bisa menggapai impianmu,
Sayang,..
jaga dirimu baik baik ya, jaga dan sayangi ibumu, dan teruslah menggapai impianmu, jangan lupa selalu bersyukur kepada Allah dimanapun dan kapanpun,.
Sayang,..
Bapak sangat sayang Dhila, putri satu satunya Bapak,.
Wassalamualaikum,..

dari Bapak
untuk dhila

aku terjatuh dan terpuruk, rasanya ada beban berat yang jatuh menimpa batinku, aku tak kuasa menahan air mataku, aku semakin keras memekikkan suara tangisku, hingga seluruh surat itu basah dan beberapa tintanya pudar,
disampingku pak lek juga terlihat menangis, namun ia tutup wajahnya dan menundukkan kepalanya,aku masih bingung apa yang sesungguhnya terjadi, mengapa bapak harus menulis surat sedemikian ini, aku bisa memahami apa yang dimaksud bapak walau dengan bahasa isyarat, tapi kenapa bapak melakukan ini semua,.

“Pak lek,…apa maksud semua ini? Pak lek… tolong jelaskan kepada dhila?
aku berteriak sekuat tenaga, karena sekarang nafasku mulai tak teratur dan tubuhku mulai melemah,
“ dil,,,foto itu adalah foto dimana peristiwa kebakaran rumahmu, ketika itu kamu masih bayi, dan kejadian itu terjadi disaat dini hari, dan bapak kamu harus menolong kamu dan ibumu yang masih terjebak di dalam rumah, hingga akhirrnya ia berhasil menyelamatkan kamu dan ibu padahal api sangat besar, beberapa bangunan roboh dan menimpa bapakmu yang masih ada di dalam, ia tak sadarkan diri, kata dokter benturan yang terjadi di kepalanya mengakibatkan sarafnya ada yang putus dan itu adalah saraf untuk bicara, jadi bapak kamu harus bisu seumur hidup karena pengorbanannya untuk menolong kamu dan ibumu,.

aku semakin terisak menjerit mendengar cerita pak lek, bapak tak pernah menceritakan hal itu kepadaku,.aku hanya diam dan menyandarkan tubuhku pada kursi rotan yang aku duduki,

dan setelah kejadian itu, kalian tak mempunyai tempat tinggal, kalian numpang di rumah tetangga, hingga akhirnya kalian mendapatkan rumah ini dari sumbangan warga, karena semakin berjalannya waktu keadaan kian memburuk, ibumu pun sering kali menyalahkan bapakmu, ia tak tahan dengan keadaan itu, hingga ia memutuskan untuk meninggalkan kalian ke kota,.

“ apa maksud surat ini pak lek?”
tanyaku seraya mengusap air mataku yang tak bisa ku hentikan,

dan surat itu, surat itu adalah ucapan selamat tinggal dari bapakmu, semenjak kau bersama ibumu bapakmu sakit sakit tan, ia tak bisa bekerja bahkan  untuk makan ia diberi tetangga terdekat, sakitnya kian hari kian parah, dan hingga pada akhirnya, dua hari yang lalu ia harus di panggail tuhan dan meningglkan kita semua.

“ Bapak,,,,,,,,,,,,,,,,,”
aku menjerit sekeras tenagaku, badanku sudah kehilangan kekuatannya, aliran darahku seolah berhenti dan detak jantungku semakin tak beraturan, aku hanya diam mataku terpejam, semua kenangan antara aku dan bapak terlintas kembali dan begitu jelas dalam fikiranku, nafasku mulai berat aku tak menyangka bahwa bel isyarat yang bapak bunyikan kala itu adalah bel terakhir yang ia dendangkan untukku, kini tak ada lagi yang mendendangkan klakson untukku, tak ada lagi bapak yang dengan riangnya tatkala menjahiliku, tak ada lagi isyarat isyarat yang sederhana, tak ada lagi yang mengajakku jalan jalan menggunakan pespa ke kota,
kini seolah aku tak mempunyai daya, wisuda yang hanya tinggal sehari untukku dan disaat yang lain sedang persiapan dengan segala macam, aku hanya menangis, bagiku apalah artinya wisuda tanpa kehadiran bapak dan ibu, apalagi bapak yang sangat menantikan momen ini, tapi apalah yang hendak dikata, manusia memiliki rencana dan Tuhan lah yang menentukan,

“ Terimaksih atas pengorbanan yang bapak berikan selama ini, sungguh bapak lebih dari seorang pahlawan bagiku, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk Bapak, dan sampai jumpa di Surga pak “

batinku, dan kini fikiranku kosong, seluruh badanku kaku, dan mataku tak jelas untuk memandang, dan seketika semuanya tak terasa gelap dan hening,
                                                             # SEKIAN #

*ada beberapa pesan yang ingin aku sampaikan dari cerpen ini untukmu
 # berasal dari mana kita, bukan menjadi alasan untuk mundur dalam bermimpi, tapi justru alasanitulah yang harus memotivasi kita untuk terus berjuang dan meraih impian
 # kita harus bersyukur dengan kondisi ayah atau ibu kita yang sekarang, masih banyak di luar sana orang orang yang tak bisa menikmati apa yang kita miliki sekarang ini, tak perlu malu untuk mengakui orang tua kita walaupun mereka ndeso, gaptek dan memiliki keterbatasan, karena merekalah kita seperti ini.