KACA DAN MATA
Karya: Muhammad Azhar At-Turry

Fachri
masih mengayuh sepeda tua warisan bapaknya, seperti biasa ia melewati hamparan
sawah dan kumpulan orang yang sudah berlalu lalang untuk mencari bongkahan
rejeki.
Menyusuri jalan pedesaan yang becek dan terkadang penuh dengan kerikil tajam mengharuskan tenaga esktra untuk mengayuh sepeda, apalagi sepeda tua seperti miliknya.
Menyusuri jalan pedesaan yang becek dan terkadang penuh dengan kerikil tajam mengharuskan tenaga esktra untuk mengayuh sepeda, apalagi sepeda tua seperti miliknya.
Mentari
yang mulai menyusuri jalan, berlomba dengan putaran roda Fachri yang semakin
kencang dan kuat, hari sudah siang hanya tinggal jejak-jejak roda teman Fahcri
yang kian menghilang diterpa angin, tepat di tikungan jalan desa, pandangan Fachri
tertutup pohon bambu yang rimbun, dan pandangannya yang kabur, membuatnya tak
tahu dengan jelas yang berada di depannya.
Braak…..
Suara
tabrakan terjadi antara kemudi sepeda Fachri
dengan bagian kanan sepeda seorang kakek tua, tak dipungkiri, Fachri pun jatuh
dan terpelosok ke saluran irigasi sawah.
“ Masya Allah, “
Teriak
Fachri, sembari bergegas berdiri dan berlari menghampiri kakek tua yang
terlihat masih terbaring di atas gundukan jerami bekas panen petani, sementara sepeda
kakek itu terperosok juga dan masuk ke saluran irigasi.
“
Kek, apanya yang sakit, mari ke puskesmas?“
Kata
Fachri dengan memegangi kaki kakek yang sedikit lecet, sembari melihat wajah kakek
yang merintih menahan sakit, namun kakek terdiam dan hanya menggeleng-gelengkan
kepala.
“maaf
kek, saya tidak sengaja,”
Kata
Fachri dengan nada pengharapan tulus dan memandang kakek tua tersebut
dalam-dalam,namun kakek itu tetap terdiam tak ada satu kata yang keluar dari
bibirnya ia hanya mengangkat tangannnya
sebagi isyarat kepada Fachri untuk berlalu dari hadapannya,
“ sekali lagi maaf kek, “
Kata
Fachri dengan mengusap lumpur yang menempel di wajah dan seragamnya, lalu ia
berdiri dan mengangkat sepeda kakek yang tercebur ke saluran irigasi,
beruntungnya saluran tersebut tak begitu dalam, sehingga Fachri dengan mudah
mengambil sepeda kakek, kemudian ia mengambil lalu menaiki sepedanya dan
meninggalkan kakek tua, dari kejauhan ia melihat kakek tua yang masih diam dan
menatapnya begitu tajam, membuatnya mulai merinding, dengan cepat ia mengayuh
sepeda, hingga tubuh kakek tua mulai hilang dari pandangannya.
Kejadian
seperti ini, bukanlah kejadian yang pertama kali, miopi atau rabun jauh yang
sudah lama di deritanya, mengharuskan ia lebih berhati-hati dalam menaiki
sepeda bahkan dalam berjalan kaki sekalipun, biasanya kecepatan sepedanya tak
lebih dari 5 km perjam,namun karena hari sudah siang, ia harus lebih cepat
mengayuh sepeda, akibatnya kecelakaan seperti ini tak mampu terhindarkan,
selain itu di tikungan jalan desa tersebut memang sering terjadi kecelakaan,
bukan karena kecerobohan para pengendara semata, namun juga karena kondisi
jalan yang tak layak, gobangan air, lubang-lubang jalan dan batu-batu besar
yang tak rata, pihak desa pun sudah mengajukan permasalahan kepada pemerintah
daerah namun sampai saat ini, hanya tinta hitam di atas putih yang dipenuhi
dengan tanda tangan, namun tak ada bukti yang dijalankan, mungkin mereka
berfikir membangun jalan hanya butuh sekedar tanda tangan.
Sinar
mentari kini sudah berada jauh di depan sepeda Fahcri, tak tampak pula
anak-anak sekolah yang biasanya melewati jalan itu, dan para petani sudah
berada di peraduannya.
Kebingungan
pun melanda fikiran Fachri, melanjutkan ke sekolah atau tidak, jika melanjutkan
pasti gerbang madrasah sudah terkunci dan malah akan dihukum di halaman,
ditambah pula dengan kondisi seragamnya yang penuh dengan lumpur, jika tidak,
“
Ah… ke Sungai sajalah “
Batin
Fachri sambil mengayuh pedal sepedanya dengan cepat menuju sungai desa yang
berada tak jauh dari rumahnya, seperti anak desa yang lainnya sungai adalah
tempat favorit yang dikunjungi, bagi mereka sungai adalah waterboom
seperti di perkotaan.
Diletakkannya
sepeda tua bercat hitam di bawah pohon mahoni, tampak di kejauhan ia melihat
dua batu yang berhimpitan, di atas gundukan kecil tanah, lalu ia menuju ke
tempat tersebut, sebuah tempat dimana ia biasanya menuliskan berbagai mimpinya
dan memikirkan segala hal tentang masa depannya.
Ia
sudah sering terlambat datang ke madrasah, teguran satpam, marahan guru, dan
berdoa di depan kelas adalah menjadi hal biasa baginya, alasannya sama,sebelum
ke madrasah ia harus membantu bapaknya untuk pergi menjual kaca figura ke
pasar, selain menjadi penggembala, Fachri juga harus menjual kaca yang dipesan
oleh langganan bapaknya, apalagi jika banyak pesanan seperti pagi ini, maka
terlambat ke madrasah menjadi hal yang pasti, ditambah pula dengan kejadian
tadi pagi.
Fachri
memandangi gundukan tanah yang ternyata ditindihi dengan satu batu, namun karena
miopi adalah kelainan mata dimana bayangan benda lebih besar dari aslinya,
sehingga satu benda bisa kelihatan menjadi dua dari jarak akomodasi maksimum mata,
apalagi jika sudah parah, malah bisa lebih dari dua jika berada di posisi yang
sama dengan Fachri,
Sudah
5 tahun lamanya, tepatnya ketika ia duduk di kelas satu Tsanawiyyah, Fachri
sudah menderita penyakit rabun jauh, tapi sampai sekarang belum ia obati bahkan
diperiksakan, kini semakin lama pandangannya semakin kabur, tak dipungkiri ia
harus duduk di bangku paling depan, agar mampu membaca tulisan guru di papan
tulis, itupun harus ia lakukan dengan cara menarik ujung kelopak matanya yang
kanan, atau sedikit melototkan matanya, serta menggeser mejanya lebih dekat
dengan papan tulis, agar bayangan benda tersebut jatuh tepat di retina dan lebih
jelas atau kalau tidak demikian, ketika mencatat di papan tulis, ia tak
mencatat, tapi ia meminjam catatan teman sebangkunya, Hamid adalah teman
sebangkunya yang kerap kali membantunya dalam membaca tulisan di papan tulis dan
meminjamkan bukunya kepada Fachri.
Fachri
membuka tasnya dan mengeluarkan selembar kertas serta pena, kemudian ia
menuliskan suatu hal,,
“
MIMPIKU “
“
Mimpiku masih sama seperti kemarin, aku ingin memiliki kacamata “
Setelah
menuliskan beberapa penggal kalimat, Fachri kemudian melipat kertas itu dan
menguburnya di lubang dekat dengan pohon randu,yang biasa ia gunakan untuk
menyimpan kertas-kertas mimpinya, di dalam lubang itu sudah terisi penuh kertas
dengan coretan-coretan mimpinya, dan semuanya sama, yaitu ia ingin memiliki
sebuah kacamata.
Memiliki
kaca mata adalah salah satu impian terbesarnya dari dulu, ia ingin meminta
kepada bapaknya, namun ia tak tega karena untuk biaya kebutuhan sehari-hari
saja sudah pas-pasan, apalagi untuk membeli alat bantu penglihatan yang mahal
itu, setiap kali ia mengeluh kepada ibu ataupun bapaknya, tentang sakit mata
yang ia derita, mereka hanya bilang, banyaklah makan wortel, dan berdoalah,
nanti Allah akan menyembuhkan, pasti jawaban seperti itulah yang akan ia
terima. Kini ia tak pernah memeriksakan kondisi matanya, yang ia ketahui
matanya kini hanya bisa melihat dengan jelas pada jarak kurang dari satu meter.
“Ehem-ehem
“
Terdengar
suara batuk seorang pria yang khas dan tak asing lagi bagi Fachri, ia kemudian
menoleh ke belakang, dilihatnya sosok pria paru baya, walau agak samar tapi ia
kenal betul orang itu, tak salah lagi itu adalah Pak Darmo, bapak fachri,
terlihat pula di belakangnya beberapa puluh ekor kambing jawa yang menikmati
rumput hijau di tepi sungai.
“
Bapak kok gembala di sini ya, biasanya kan di dekat ladang “
Batin
fachri dengan menundukkan kepala dan tak berani menatap Pak Darmo yang wajahnya
sudah berubah seperi malaikat Malik yang siap melemparkan manusia-manusia jahat
ke Neraka, Fachri hanya terpaku di tempatnya, yang berjarak satu meter dari Pak
Darmo,
“ ceter…ceter…”
Dua
pukulan cemeti mengenai kaki Fachri dan berbekas luka lebam merah, cemeti dari rotan
yang biasa ia gunakan untuk memukul kambingnya yang nakal dan makan tanaman
orang, kini ia harus merasakannya, ia hanya memejamkan matanya dan menggigit
bibirnya sendiri, untuk menahan sakit yang luar biasa.
“
Sejak kapan Bapak mengajarimu menjadi seorang pembohong? pamitnya pergi ke
sekolah malah bermain disini, Kau itu satu-satunya harapan bapak, karena kakakmu
harus putus sekolah karena kondisi yang tak memungkinkan, tapi kamu yang
memiliki kesempatan dan peluang itu malah tak memanfaatkannya, mau jadi apa kau
ini? Apa kau lebih bangga jika menjadi penggembala seumur hidupmu? jika ya ,
lebih baik bapak tidak usah menyekolahkan kamu, jika akhirnya nasib kamu
seperti bapak.
Sepeda
itu, lihat sepeda itu, sepeda itu adalah satu-satunya kendaraan yang bapak
gunakan untuk menjual dan mengantarkan kaca, tapi demi kamu, bapak rela jika
harus pakai gerobak untuk mengantarkan pesanan kaca, bapak hanya ingin melihat
kau tumbuh dewasa dengan sebuah keberhasilan dan kebanggaan bukan menjadi
seorang pembohong, kalau besar nanti mau jadi apa kau ini? Masih kecil sudah
menjadi pembohong, mau jadi koruptor? Lebih baik menjadi seekor kambing yang
makan tanaman yang sudah menjadi haknya, dari pada sukses tapi membohongi
banyak orang, Kami tak meminta apapun dari kamu, kami juga tak berharap kamu
membalas jasa-jasa kami, kami hanya ingin kamu kelak menjadi orang sukses ngerti
kamu…?”
Bentak
pak Darmo dan meluapkan segala amarahnya, kepada Fachri yang masih menundukkan
kepalanya, Fachri hanya mengangguk, baru pertama kali ini ia dimarahi bapaknya
begitu dahsyat, namun sudah kedua kalinya ia melihat bapaknya marah, yang
pertama adalah dengan Marni, kakaknya, hal itu bermula ketika Marni ingin
merantau dari pada melanjutkan kuliah karena tak ada biaya, walaupun aslinya Pak
Darmo pun tak mampu menguliahkan Marni, namun ia bersikukuh agar kakaknya itu
melanjutkan, agar menjadi orang sukses, tapi karena Marni pun tak mau
menyusahkan, akhirnya terjadi perdebatan antara Marni dengan Pak Darmo, yang berujung
pada perginya Marni tanpa seijin Pak Darmo.
“
Pulang kau… sebelum kemarahanku mencapai puncaknya “
Gertak
Pak Darmo, dengan wajah yang menahan amarah, karena mengetahui bapaknya yang
sedang naik pitam, maka Fachri segera berlari menuju ke tempat dimana sepeda
tuanya di sandarkan, dengan kaki yang terpincang-pincang dan luka lebam yang
mulai membiru, Fachri kemudian berlalu dengan cepat.
Cahaya
mentari yang menyegat menemani perjalanan Fachri ke rumah, berkali-kali dihapuslah
linangan air mata yang mengalir di pipi menggunakan jarinya, dengan menahan
sakit yang luar biasa pada kakinya, ia tetap melaju bersama sepeda tuanya,
“
maaf pak , maaf..…maaf “
Gerintih
Fachri berkali-kali ia ucapkan , di sepanjang perjalanan, karena hari ini, ia
telah mengecewakan bapaknya,
“
Apakah hanya karena tak memiliki kacamata aku harus mengecewakan bapak dan ibu?
Jikapun selamanya aku harus seperti ini, aku rela karena bukan hal ini yang
membatasiku untuk bermimpi “
Batin
fachri, dengan memandangi hamparan sawah yang hijau, walau kini ia tak mampu
melihat dengan jelas, tapi setidaknya ia masih memiliki tangan dan kaki dalam
meraih mimpinya, ia akan membuktikan bahwa penyakit bukanlah hal yang membatasi
dirinya untuk meraih impiannya.
Sementara
itu Pak Darmo masih terpaku di tempat ia berdiri, kemudian ia memperhatikan gundukan tanah kecil
bekas galian Fachri, karena setiap ia melihat Fachri di sungai, Fachri pasti
menulis sesuatu kemudian menguburnya, hal itu membuat rasa penasaran Pak Darmo
muncul. Pak Darmo, kemudian mendekati galian di bawah pohon pisang itu,
dibukanya galian itu dan ia pun menemukan puluhan kertas dengan beberapa
coretan, dan setelah ia baca, ternyata semua coretan tersebut berisi sama, namun
ketika semua kertas sudah ia keluarkan dari lubang, ia mendapati satu kertas
yang ditaruh di paling dasar dengan warna berbeda dari lainnya,
“ MIMPIKU
“
Aku
hanyalah seorang anak penggembala yang tak pantas memiliki banyak mimpi,
Mimpiku
sederhana aku hanya ingin memiliki kacamata
Namun
dari mana aku mendapatkannya?
Memang
benar kata bapak,
Orang
miskin tak pantas memiliki mimpi,”
Tulisan
sederhana itu ternyata mampu mengubah Pak Darmo, yang tadinya marah kini
perlahan wajahnya lesu dan tanpa sadar air matanya mengalir. Baru kali ini ia
mengetahui bahwa anaknya, memiliki mimpi seperti itu, ia berfikir bahwa sakit
mata yang dikeluhkan Fachri adalah sakit mata biasa, namun ternyata baru ia
sadari bahwa penyakit yang sudah dikeluhkan lima tahun yang lalu oleh anaknya
itu cukup berbahaya.
Ia
hanya menasehati Fachri dengan doa yang diberikan oleh Kiai kampungnya, yaitu
membaca Surat Al-Kautsar sebelas kali dan yang paling akhir mengecup kedua ibu
jari kemudian ditempelkan perlahan ke mata yang sakit, tapi kali ini ia sadar
bahwa untuk mendapatkan kesembuhan juga
harus berusaha untuk mencari obatnya, bukan sekedar berdoa.
“
Lalu bagaimana caranya, ia bisa mendapatkan prestasi selama ini dengan kondisi
matanya yang demikian?”
Batin
Pak Darmo, dengan memandangi beberapa penggal kata yang sudah usang, karena
yang ia tahu selama ini, Fachri selalu mendapatkan prestasi di madrasah,
berbagai bidang lomba ia juarai, bahkan beberapa piala terpajang di lemari
rumahnya, namun ia tak tahu jika kedaaan mata Fachri sakit parah.
Bahkan
Fachri pernah bermimpi ingin melanjutkan studinya ke Mesir, namun Pak Darmo
hanya menjawab,
“ kita adalah orang miskin tak pantas memiliki banyak mimpi”
“ kita adalah orang miskin tak pantas memiliki banyak mimpi”
Fachri
tak pernah mengeluhkan sakit matanya, apalagi meminta untuk membelikan sebuah
kaca mata, ia memang sering sakit kepala, apalagi setelah ia pulang dari
menggembala, tapi obat yang paling manjur adalah tidur, tapi ia tak pernah
memberi tahu kepada bapaknya, jika hal itu disebabkan penyakit yang menyerang
matanya..
“ Andai
bapak mampu membuat kaca mata dengan kaca figura ini, maka bapak akan
membuatkan yang terbaik untukmu nak, tunggu
saja nak, suatu saat nanti bapak akan mewujudkan mimpimu”.
Batin
Pak darmo, dengan mengusap air matanya menggunakan bagian bawah bajunya yang
sudah usang dan menguning,
…………………………………………………………………………………………
“ Tit…tit…greng..greng “
Suara
sepeda motor Hamid di depan kos-kosan menyadarkan Fachri dari lamunannya, Hamid
yang dulu satu kelas dengannya saat di Madrasah kini juga menjadi teman satu
kampusnya, karena mereka berdua mendapatkan beasiswa berprestasi di perguruan
tinggi yang sama,
Fachri
mengambil kacamatanya di atas meja, kemudian ia berjalan menuju cermin berukuran
sedang yang tertempel di lemari kamarnya,
“
Terima kasih Pak, engkau telah mewujudkan salah satu impian terbesarku, engkau
rela menjual kambing kambing kita hanya untuk membeli kaca mata ini, walau
awalnya aku malu memakai kaca mata ini, banyak orang yang mencemoohku, bahwa
kaca mata itu yang pantas memakainya adalah orang-orang kaya, dan bapak selalu
mengajariku menjadi orang yang berani untuk menjalani serta mensyukuri
kehidupan “.
Dengan
mengepalkan tangan kanannya dan diletakkan ke dada bagian kirinya tepat diatas
bagian jantungnya,. Fachri berkata dengan lantang.
“ Orang miskin pantas untuk memiliki banyak
mimpi “
Fachri
kemudian beranjak pergi, meninggalkan nostalgia yang tersusun rapi untuk
mengejar impian besar yang masih jauh di depan mata dan berceceran.
Social Icons