TONG KOSONG BERBUNYI NYARING
Karya : Muhammad Azhar
Terik mentari kian menyangat,
memaksa buih-buih keringat keluar dari sarangnya,
Aku masih duduk diatas bangku kecil
warung sederhana tak jauh dengan sekolah, sembari menikmati segelas es teh tuk
sekedar membahasi tenggorokan,
Hampir setiap pulang sekolah aku
selalu mampir ke warung bu sulasmi, walau sekedar minum, karena keakraban yang
sudah terjalin, maka hal ini pun sudah menjadi rutinitas yang wajib akau
lakukan, tak kahayal aku pun sering di
beri “ gratisan “ oleh bu sulasmi.
Es the manis 2 ya Bu…
Suara dua pengamen yang berpakaian
necis, dengan topi hitam yang menutup kepala mereka, serta jas kulit yang
berwarna merah dengan gambar logo tim sepak bola elit liga inggris,.mereka pun
kemudian duduk di sampingku dan
meletakkan sebuah alat musik seperti gitar namun kecil di atas meja, namun aku
tak tahu alat music apa itu dan bagaimana cara mainnya,..
Itu gitar mini yam as?
Tanyaku, dengan menunjuk kea rah
alat music yang menyerupai gitar tersebut yang kali ini dipindahkan ke bawah
meja,.
Bukan mas, ini namanya kentrung, ya
bisa juga dikatakan gitar mini karena cara mainnya pun sama-sama dipetik?
Jawab salah satu pengamen dengan nada
sedikt tertawa dan merinyipitkan matanya persis dengan ekspresi orang yang pada
acara tahan tawa,.
Kentrung??
batinku, dengan memalingkan
pandangan dari arah mereka, dan berubah memandang kalender bergambar masjid
agung demak yang terpajang di dinding kayu ibu sulasmi, bukankah kentrung
adalah alat music tradisional demak yang bentuknya sederhana dan biasanya
diaminkan setiap ada pergelaran,.
mendengar jawaban pengamen tersebut terlintas
aku ingat dengan cerita mbah samsuri, seniman kentrung satu-satunya di demak,
namun sayang, kisah hidupnya tak semulus dan seindah dengan irama nada
kentrungnya..
seminggu yang lalu aku bersama tim
jurnalistik ke rumahnya, untuk wawancara guna sebagai bahan artikel dalam
majalah tahunan sekolah, namun betapa terkejutnya aku, ketika mbah samsuri
menuturkan bahwa ia tak lagi menjadi seniman kentrung seperti dulu, namun ia
kini menjadi tukang kebun di salah satu SD dekat dengan rumahnya, alasannya
adalah sederhana, untuk menghidupi kebutuhan keluarga,
Ku mengenal mbah samsuri sudah lama,
tepatnya ketika aku duduk di kelas sepuluh, perkenalan itu bermula ketika
aku mendapatkan tugas dari guru seniku,
tugasnya adalah mencari kesenian local dari daerah demak kemudian membuatnya
sebagai makalah, sempat aku bingung dengan tugas itu, namun karena membaca
berbagai referensi dan bbrowsing internet, akhirnya aku menemukan kesenian
local yang dimaksud, ya itu adalah kentrung,.lengkap dengan alamat senimannya,
ya dia adalah mbah samsuri, satu-satunya seniman kentrung di demak,
Waktu itu setelah tugas tersebut
diberikan, ku kemudian menuju rumah mbah samsuri, berbekal dari petunjuk referensi
ku baca dan dengan bertanya kepada warga
sekitar, kali ini aku baru setuju dengan ungkapan “ malu bertanya sesat
diajalan “,
Akhirnya, aku temukan alamat rumah
mbah samsuri, rumah sederhana yang terbuat dari kayu serta atap yang sudah
kumuh , tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, ku kira rumah seniman itu
mewah, namun ternyata kali ini aku melihat sendiri bagaimana kenyataan nasib
seniman di negeri yang katanya negeri serjuta budaya, tak salah jika banayak
negeri tetangga yang mengklaim budaya negeri ini, yang salah bukan mereka tapi
kita sendiri yang tak memiliki perhatian serta penghargaan terhadap jasa para
seniman, di dalam rumah terdapat
banyak pajangan foto mbah samsuri ,
sebuah penghargaan berupa piagam pun ia raih dan ia simpan di dalam almari,
kemudian mbah samsuri menceritakan, perjalanannya menjadi seniman, hal itu
adalah wasiat dari bapaknya, sehingga ia pun melanjutkan warisan budaya local
tersebut,
Namun kenyataan itu sungguh berbeda
dengan seminggu yang lalu, ketika aku mengetahui bahwa kini seorang seniman
satu-satunya pun harus meninggalkan budaya demi pemenuhan kebutuhan keluarga,
Rasa penasaranku semakin bertambah,
aku pun duduk di lantai dan mbah samsuri di atas kursi menjalin tua, kemudian
dengan mimic yang sedih dan tertekuk, perlahan mbah samsuri pun menceritakan
kisah pilunya,
“ sesungguhnya aku berat dan sangat berat meninggalkan tugas suci ini, uang bukanlah hal yang menjadikan aku mempertahankan kesenian ini, namun rasa cinta buaadaya lah yang membuat aku senang dalam menjalanai kesenian ini, disamping itu ini merupakan warisan budaya yang harus di lestarikan, kalau tidak kita yang melestarikan, lalu siapa lagi?
“ sesungguhnya aku berat dan sangat berat meninggalkan tugas suci ini, uang bukanlah hal yang menjadikan aku mempertahankan kesenian ini, namun rasa cinta buaadaya lah yang membuat aku senang dalam menjalanai kesenian ini, disamping itu ini merupakan warisan budaya yang harus di lestarikan, kalau tidak kita yang melestarikan, lalu siapa lagi?
Kini warisan budaya local semakin
tergerus dengan kebudayaan modern, dan hal itulah yang mebuat seniman seperti
aku ini merasa ditinggal, pemerintah pun hanya bersorak –sorak dan seakan akan
urat lehernya keluar namun tak ada kebijakan yang mereka lakukan, tak mungkin
hanya kita sendiri yang menjaganya namun juga kita harus bersama dari semua
lini, agar buadaya ini mampu kita wariskan kepada anak cucu kita,
Dengan meneguk secangkir kopi yang
sangat berat, aku memendang lehernya yang sudah mengkerut , dan ia pun
melanjutkan ceritanya
“ uang memang tak segalanya , namun
segalanya butuh uang , karena tawaran manggung yang jarang sekali sehingga
pemasukan pun tak ada namun pengeluaran terus berjalan apalagi kini harga
sembako yang kian melejit, mau tidak mau sebaagai tulang punggung keluarga aku
harus bertanggung jawab untuk memnuhi kebutuhan keluarga, dan dengan terpaksa
aku harus meninggalkan seni kentrung ini, awalnya pemerintah pun berjanji untuk
menjamin kebutuhan kelurgaku, namun samapai saat ini, tak ada yang mereka
lakukan ,.jadi aku kini menjadi tukang kebun SD, walaupun hasiulnya tak
seberapa namun cukup tuk memenuhi kebutuhan keluarga, daripada mengandalkan
pentas ketrung yang belum tentu sebulan
ada.” Mbah samsuri pun menghentikan ceritanya disapu air matnya yang mengalir
dengan punggung tangannya yang sudah kisut.
Sungguh aku menyesalkan atas
kejadian ini, kini warisan budaya harus sirna hanya karena tak ada perhatian
dari orang-orang berdasi yang duduk di kursi mahal, mereka selalu berorasi di media cetak ataupun elektronik untuk
menjaga dan melestarikan warisan budaya bangsa namun kenyataannya mereka
seperti pepetah “ tong kosong berbunyi nyaring “ selain itu kita pun harus
memulai dari diri kita sendiri untuk mencintai dan melestarikan warisan budaya,
siapa lagi akalau bukan kita,.
mas mau beli kentrung ya? Murah kok mas..
suara pengamen yang menyadarkan lamunanku,
mas mau beli kentrung ya? Murah kok mas..
suara pengamen yang menyadarkan lamunanku,
Ndak-ndak mas, Cuma bertanya aja, ..
Dengan senyum sungging laksana
senyuman lukisan monalissa karya Leonardo davinci, sedih, kecewa dan panas
bercampur di siang itu,
Setelah membayar, aku pun memutuskan
untung pulang, sembari melihat kibaran bendera merah putih di halaman sekolah,
aku pun memejamkan mataku, kemudian berbalik dan meninggalkannnya.
Social Icons